SEJARAH PERKEMBANGAN HINDU- BUDDHA DI
INDONESIA
A. Penyebaran Agama
Hindu-Buddha di Nusantara
Teori tentang Proses
Penyebaran Agama Hindu
Hingga saat ini para
ahli sejarah masih berbeda pendapat mengenai proses penyebaran agama Hindu di
Nusantara. Lalu, apa saja teori itu?
Teori Sudra
Sesuai
dengan namanya, teori ini menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Nusantara
dibawa oleh orang-orang India berkasta Sudra
Teori Waisya
Menurut
teori ini kelompok yang berperan besar dalam penyebaran agama Hindu adalah
golongan Waisya. Teori yang dikemukakan oleh Prof. N.J. Krom.
Teori Ksatria
Menurut teori ini
kelompok yang berperan besar dalam penyebaran agama Hindu di Nusantara adalah
golongan Ksatria. Proses penyebaran agama tersebut dilakukan dengan cara
pendudukan (kolonisasi). Teori yang dikemukakan oleh Prof.Dr. Ir. J.L. Mouens.
Teori Brahmana
Menurut teori ini,
faktor utama penyebaran agama Hindu di Nusantara adalah dari kaum Brahmana.
Teori yang dikemukakan oleh J.C.van Leur.
Dari keempat teori ini,
teori penyebaran agama Hindu di Nusantara oleh kaum brahmana adalah yang paling
masuk akal. Ada dua alasan yang memperkuat teori ini. Pertama, hanya kaum
brahmana yang mengerti kitab weda. Kedua, hanya kaum brahmana yang mengerti
tulisan sanskerta dan bahasa Pallawa.
Penyebaran Agama
Buddha
Melihat
bukti-bukti antropologi yang ada, agama Buddha diperkirakan masuk ke Nusantara
sejak abad ke-2 Masehi. Hal tersebut dapat dinyatakan dengan penemuan patung
Buddha dari perunggu di Jember dan Sulawesi Selatan.
Patung-patung itu
menunjukkan gaya seni Amarawati. Gaya seni ini berkembang sekitar abad ke-1
Masehi di India Selatan.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 9
Salah satu catatan awal
mengenai keberadaan Agama Buddha di Nusantara berasal dari laporan seorang
pengelana Cina bernama Fa Hien pada awal abad ke-5 Masehi. Dalam laporan
tersebut, Fa Hien menceritakan bahwa selama bermukim di Jawa, ia mencatat
adanya komunitas Buddha yang tidak begitu besar di antara penduduk pribumi.
Dalam sebuah catatan
lain diceritakan mengenai seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman, putera dari
seorang Raja Kashmir di India, yang datang ke negeri Cho-Po untuk
menyebarkan agama Buddha Hinayana. Menurut tafsiran sejarah, negeri Cho-Po
mungkin terletak di Jawa atau Sumatra. Dalam usahanya untuk menyebarkan Agama
Buddha, Gunawarman didukung oleh ibu suri negeri tersebut. Hasilnya, Agama
Buddha berkembang pesat di negeri tersebut. Gunawarman merupakan penyiar Agama
Buddha yang disebut dharma dhuta.
B. Kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha
Kutai
Bukti
pertama adanya pengaruh Hindu di Nusantara diperoleh di daerah Kutai,
Kalimantan Timur. Bukti itu berupa tujuh buah prasasti berbentuk yupa, yang
digunakan sebagai tiang tempat menambatkan hewan kurban. Yupa ditulis dalam
huruf pallawa dan bahasa Sanskerta. Dari bentuk huruf yang dipakai, para ahli
memperkirakan bahwa prasasti itu dibuat kira-kira pada abad ke-5 Masehi.
Dari prasasti tersebut
diperoleh informasi mengenai adanya sebuah kerajaan Hindu bernama Kutai di hulu
sungai Mahakam. Disebutkan bahwa pendiri kerajaan itu bernama Kudungga, yang
dari namanya bisa dipastikan bukanlah sebuah nama Hindu, namun asli Nusantara.
Pengaruh Hindu mulai terlihat jelas pada penggantinya yang mengambil nama India
Aswawarman yang berasal dari kata Vamsakarta atau pembentuk keluarga (dinasti).
Prasasti-prasasti itu
sendiri dibuat untuk memuliakan Raja Kutai yang ketiga, Mulawarman, yang
dianggap sebagai orang yang sangat mulia dan baik budinya. Hal itu terlihat
dalam isi salah satu prasasti yang menyebutkan bahwa raja tersebut telah
memberikan sumbangan berupa 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 10
Tarumanegara
Kerajaan Hindu pertama
di Jawa Barat dan kedua di Nusantara ialah Tarumanegara. Kerajaan yang terletak
di antara sungai Cisadane dan sungai Citarum ini diperkirakan muncul pada abad
ke-5 M. Bukti-bukti tentang kerajaan ini diperoleh dari catatan para pengelana
Cina, seperti kisah Fa-shien mengenai sebuah kerajaan yang bernama To-lo-mo
(Tarumanegara) yang ditemuinya ketika ia singgah di Jawa. Berita Cina lainnya
dari para pemerintahan dinasti Tang dan Sung menyebutkan bahwa kerajaan
tersebut beberapa kali mengirimkan utusannya ke Cina.
Selain itu, terdapat
pula bukti-bukti berupa tujuh buah prasasti yang menceritakan keberadaan
kerajaan tersebut. Lima diantara prasasai-prasasti tersebut ditemukan di daerah
Bogor dan dikenal sebagai prasasti Ciarateun, Kebun Kopi, Jambu, Pasir Awi, dan
Muara Cianten, sedangkan dua lainnya ditemukan di Jakarta dan Lebak,
masing-masing disebut prasasti Tugu dan Muncul.
Kalingga
Dalam
sebuah berita Cina yang berasal dari seorang biksu Buddha bernama I-Tsing, pada
pertengahan abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama Holing atau Kalingga di
daerah Jawa Tengah. Kerajaan Kalingga diperintah oleh seorang ratu bernama
Sima. Pemerintahannya sangat keras, namun adil dan bijaksana.
Ada
sebuah cerita mengenai ketertiban dan ketenteraman ditegakkan dalam kerajan tersebut.
Salah satu perintah sang ratu ialah larangan kepada rakyatnya untuk menyentuh
dan mengambil barang yang tercecer di jalan. Orang yang melanggar perintah itu
diancam dengan hukuman mati. Rupanya, ketaatan rakyat Kalingga terhadap ratunya
tidak dipercayai oleh raja dari kerajaan Ta-Shih (sebutan Cina untuk kaum
Muslim Arab dan Persia). Sang raja kemudian memerintahkan kepada anak buahnya
untuk meletakkan sebuah kantong emas di jalanan. Selama tiga tahun kantong
tersebut dibiarkan begitu saja di jalanan, karena tidak seorangpun berani
melanggar perintah sang ratu. Suatu ketika secara tidak sengaja putera mahkota
menginjak kantong tersebut sehingga isinya berhamburan. Hal tersebut membuat
marah Ratu Sima, sehingga beliau merintahkan agar anaknya dihukum pancung. Para
penasehatnya berhasil membujuk sang ratu agar tidak melaksanakan niatnya itu.
Sebagai gantinya jari putera mahkota yang menyentuh kantong emas dipotong.
Melayu
Melayu
merupakan salah satu kerajaan terkuat di Nusantara. Banyak ahli sejarah yang
memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di daerah Sungai Batanghari,
Jambi. Hal ini ditafsirkan karena banyaknya peninggalan
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 11
kuno seperti candi dan
arca yang ditemukan di sana. Keberadaan kerajaan tersebut lebih banyak
diketahui dari sumber-sumber Cina.
Pada masa pemerintahan
dinasti Tang dilaporkan bahwa pada tahun 644 dan 645 utusan dari negeri Moloyeu
(Melayu) membawa hasil bumi. Pengelana Cina I-Tsing kemudian melaporkan bahwa
pada abad ke-7 kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Sriwijaya. Setelah itu,
selama beberapa abad tidak ada laporan sedikit pun mengenai kerajaan tersebut.
Nama melayu baru muncul
kembali pada abad ke-12 ketika kerajaan Singasari melancarkan ekspedisi.
Pemelayu. Melayu mengalami masa kejayaan pada pemerintahan raja Adityawarman,
seorang kerabat dari dinasti yang berkuasa di Majapahit. Menurut catatan pada
arca Manjusti di candi Jago, Jawa Timur, menyebutkan bahwa Adityawarman
membantu Gajah Mada menaklukkan Pulau Bali. Setelah itu, nama kerajaan tersebut
tenggelam lagi.
Sriwijaya
Kata Sriwijaya pertama
kali dijumpai di dalam Prasasti Kota Kapur dari pulau Bangka. Sriwijaya
merupakan sebuah kerajaan di Sumatera Selatan yang berpusat di Palembang.
Berita-berita Cina banyak mengungkapkan keberadaan kerajaan ini. Sebagai
contoh, dalam catatan perjalanannya pada tahun 671, seorang biksu Budhha
bernama I-tsing menceritakan bahwa ketika ia pergi dari Kanton ke India, ia
singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tatabahasa
Sanskerta.
Mengenai
kerajaan Sriwijaya, I-tsing mengatakan bahwa Sriwijaya merupakan kota
berbenteng yang dikelilingi tembok. Kota ini merupakan pusat agama Buddha, yang
ditempati kira-kira seribu biksu di bawah bimbingan Sakyakitiri. Selain berita
dari Cina, keberadaan kerajaan Sriwijaya juga diperkuat oleh penemuan beberapa
prasasti yang semuanya ditulis dengan Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno.
Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu,
Kota Kapur, dan Karang Berahi.
Pada tahun 775,
Sriwijaya mendirikan pangkalan di daerah Ligor, Semenanjung Malaya. Kekuasaan
kerajaan itu meliputi selat Malaka, Selat Karimata, selat Sunda, Sumatera
Selatan, Sumatera Tengah, Pantai Timur, Sumatera Utara, Pantai Barat
Kalimantan, dan Semenanjung Malaka. Pada masa jayanya Sriwijaya memiliki
peranan besar dalam pengembang perdagangan, ilmu pengetahuan, dan agama.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 12
Kerajaan
Sriwijaya mulai mengalami kemunduran sekitar abad ke-10. Hal ini terutama
diakibatkan oleh timbulnya permusuhan dengan kerajaan Colamandala dari India
Selatan. Pada tahun 1017 dan 1025, armada laut Rayendracoladewa di bawah
pimpinan Raja Colamandala menyerang pelabuhan-pelabuhan di Selat Malaka yang
berada dibawah kekuasaan Sriwijaya. Akibat serangan ini, banyak kapal Sriwjaya
yang hancur tenggelam. Bahkan raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayatunggawarman
berhasil ditawan musuh.
Kerajaan
Sriwijaya makin melemah pada abad ke-13, saat banyak wilayah lepas dari
pengaruh kekuasaannya. Wilayahnya dibagian utara semenanjung Malaya diambil
alih oleh Raja Siam. Sementara bagian tenggara Sumatera direbut oleh raja
Kertanegara dari Shingasari. Sejak itu, satu per satu raja bawahan Sriwijaya
melepaskan diri dari pengaruh kerajaan tersebut. Kerajaan Sriwijaya lenyap
setelah ditaklukkan kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno
diperkirakan berada di wilayah aliran Sungai Bogowonto, Progo, Elo, dan
Bengawan Solo di Jawa Tengah. Keberadaan kerajaan ini dapat diketahui dari
prasasti Canggal. Prasasti Berangka tahun 732 M ini menyebutkan bahwa kerajaan
itu pada awalnya dipimpin oleh Sana. Setelah kematiannya, tampuk kekuasaan dipegang
oleh keponakannya, Sanjaya. Pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai
Panangkaran, berdiri pula sebuah dinasti baru di Jawa Tengah, yaitu dinasti
Syailendra yang beragama Buddha. Perkembangan kekuasaan dinasti tersebut di
bagian Selatan Jawa Tengah menggeser kedudukan dinasti Sanjaya yang beragama
Hindu hingga ke bagian tengah Jawa Tengah. Akhirnya, untuk memperkuat kedudukan
masing-masing, kedua dinasti tersebut sepakat bergabung. Caranya adalah melalui
pernikahan antara Raja Putri Pramuwhardani dari pihak Syailendra dengan Rakai
Pikatan dari saingannya.
Kerajaan Mataram kuno
terkenal keunggulannya dalam pembangunan candi Agama Buhda dan Hindu. Candi
yang diperuntukkan bagi Agama Buddha antara lain candi Borobudur yang dibangun
oleh Samaratungga dari dinasti Syailendra. Candi Hindu yang dibangun antara
lain candi Rara Jongrang di Prambanan yang dibangun oleh Raja Pikatan.
Pada zaman pemerintahan
Raja Rakai Wawa terjadi banyak kekacauan di daeran-daerah yang berada di bawah
Kerajaan Mataram Kuno, sementara ancaman dari luar mengintainya. Keadaan
menjadi semakin buruk setelah kematian sang raja akibat perebutan kekuasaan di
kalangan istana. Akhirnya, pengganti Raja Wawa yang bernama Mpu Sindok
mengambil keputusan untuk
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 13
memindahkan pusat
pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di sana ia membangun sebuah
dinasti baru yang bernama Isyana.
Wangsa Warmadewa
Keluarga Raja Warmadewa
muncul pertama kali pada tahun 914. Hal itu diketahui dalam prasasti dari Sanur
yang dikeluarkan oleh Sri Kesariwarmadewa yang memiliki kraton di Singhawdala.
Salah seorang keturunan Kesariwarmadewa adalah Candrabhayasingha Warmadewa yang
pada tahun 962 membangun sebuah pemandian telaga dari sumber yang ada di desa
Manukraya. Pemandian itu adalah thirta empul yang sekarang letaknya di
dekat Tampak siring.
Sejak tahun 989, Bali
diperintah oleh sang ratu luhur Sri Gunapriyadharmapatni dan suaminya Sri
Dharmodayana Warmadewa atau Udayana. Gunapriyadharmapatni (Mahendrata) adalah
anak Makutawang-sawardhana dari Jawa Timur.
Udayana dan Mahendrata
memiliki anak sulung bernama Airlangga, yang kemudian menjadi raja menggantikan
Dharmawangsa di Jawa Timur. Mereka juga memiliki putera yang disebut Anak
Wangsu yang kemudian memerintah di Bali dan bergelar Sri Dharmawangsawardana. Anak
Wangsu tidak memiliki keturunan, sehingga dengan meninggalnya Anak Wangsu,
pemerintahan Wangsa Warmadewa berakhir pula.
Medang Kamulan
Kerajaan Medang Kamulan
terletak di muara Sungai Brantas di Jawa Timur. Kerajaan ini dibangun oleh Mpu
Sindok yang sebelumnya memerintah kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Di
tempat barunya ini Mpu Sindok mendirikan sebuah dinasti yang bernama Isyana.
Pada masa pemerintahan
Dharmawangsa (991-1016), Medang berusaha menguasai jalur perdagangan laut di
wilayah Selat Malaka. Hal tersebut menyebabkan benturan dengan kerajaan
Sriwijaya. Akibatnya fatal bagi Dharmawangsa sendiri. Dalam upayanya untuk
mengalahkan Dharmawangsa, Sriwijaya menjalin hubungan dengan negara bawahan
Medang Kamulan, yaitu kerajaan Wura-Wuri. Menurut prasasti Pucangan (1016),
pasukan Wura-Wuri menyerang istana Dharmawangsa ketika ia sedang menikahkan
puterinya dengan Airlangga. Dalam peristiwa itu, Raja Dharmawangsa terbunuh,
sementara menantunya berhasil lolos. Prasasti ini juga menceritakan pengembaraan
Airlangga yang hidup selama beberapa waktu dengan para pertapa. Pada tahun
1019, para pendeta Siwa, Brahma, dan Buddha menobatkannya sebagai raja dengan
gelar Sri Lakeswara Dharmawangsa
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 14
Airlangga.
Dengan dukungan para pemuka agama tersebut, Airlangga berhasil mengambil alih
kekuasaan. Dia kemudian memindakan pusat kekuasaan dari Waton Mas ke Kahuripan.
Pada akhir
pemerintahannya, Airlangga mengalami kesulitan untuk menentukan penggantinya
karena sang pewaris, Maharantri I Hino Wijayatunggadewi menolak naik tahta dan
memilih menjadi seorang pertapa. Akhirnya dengan bantuan Mpu Bharada, Airlangga
membagi dua kerajaannya menjadi Jenggala dan Panjalu (Kediri).
Berdasarkan
prasasti Calcuta silsilah raja Medang adalah sebagai berikut:
Kediri
Keputusan
Airlangga untuk membagi 2 kerajaannya menghasilkan pembentukan 2 kerajaan,
Jenggala dan Panjalu (Kediri).
Dalam perkembangannya,
kedua kerajaan tersebut selalu berselisih. Hal ini diakibatkan oleh ambisi
Mapanji Garasakan untuk menguasai seluruh wilayah bekas kerajaan Medang. Pada
masa pemerintahan penggantinya yang bernama Mapanji Alanjung, Panjalu berhasil
mendesak Jenggala. Akibatnya, Alanjung mengungsi ke Marsma Lor.
Setelah itu, sejarah
Jenggala tidak diketahui lagi. Sebagai gantinya, 60 tahun kemudian munculah
kerajaan Kediri. Pada tahun 1116, Kediri diperintah oleh Sri Kameswara
(1116-1135). Kemudian ia digantikan oleh Jayabaya. Jayabaya memerintah antara
tahun 1135 hingga 1157. ia memakai lambang Garudamukha untuk menunjukkan bahwa
dirinya adalah keturunan sah Airlangga.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 15
Pada awal
pemerintahannya, Jayabaya mengeluarkan prasasti Hantang. Isinya memuat tulisan
berbunyi, “Panggalu Jayati atau Panjalu Menang” artinya, dibawah
pemerintahannya Panjalu (Kediri) berhasil menaklukkan Jenggala. Dengan
demikian, Kediri berhasil menyatukan kembali wilayah bekas Medang yang terbagi.
Sebagai tanda kemenangannya, nama Jayabaya diabadikan dalam kitab Baratayudha,
sebuah kakawin yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Seperti yang telah
kita ketahui, Baratayudha adalah sebuah kisah tentang perebutan tahta
Hastinapura antara keluarga Pandawa dan Kurawa. Jayabaya kemudian
berturut-turut digantikan oleh Suweswaran (1159-1169), Ayyeswara (1169-1181),
dan Maharaja Gandra (1181-1182).
Riwayat kerajaan Kediri
berakhir pada masa pemerintahan Kertajaya. Pada tahun 1222 dengan dukungan kaum
Brahmana, Ken Arok melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Kediri. Dalam
suatu pertempuran di desa Genter, Kertajaya dan pasukannya berhasil dikalahkan.
Singasari
Kerajaan Singasari
didirikan oleh Ken Arok setelah dia berhasil mengalahkan Kediri. Dia kemudian
mengambil gelar Sri Rangga Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi dan membangun sebuah
dinasti baru yang disebut dinasti Rajasa. Riwayat Ken Arok sendiri tidak banyak
diketahui karena namanya tidak dikenal dalam prasasti. Dalam kitab Pararaton
dan Negarakertagama, ia dikatakan berasal dari sebuah keluarga biasa
dari desa Pungkur. Pada masa mudanya ia hidup sebagai penyamun sehingga menjadi
buronan. Melalui bantuan seorang pendeta bernama Danghyang Lohgawe, ia kemudian
berhasil bekerja pada akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung. Tertarik oleh
isteri sang akuwu yang cantik bernama Ken Dedes, Ken Arok kemudian membunuh
Tunggul Ametung dengan sebilah keris buatan Mpu Gandring. Setelah itu, ia
menikahi Ken Dedes, yang saat itu sedang mengandung.
Cerita selanjutnya
merupakan kisah tragedi. Anusapati, anak yang dikandung Ken Dedes dari Tunggul
Ametung, mengetahui tragedi yang menimpa ayahnya. Ia kemudian membunuh ayah
tirinya itu dengan keris yang telah membunuh ayah kandungnya dan mengambil alih
tahta kerajaan.
Pemerintahan Anusapati
berlangsung selama 21 tahun (1227-1248). Masa pemerintahannya tidak banyak
diketahui selain dia gemar menyabung ayam, dia dibunuh oleh Tohjaya, seorang
anak Ken Arok dari istri lainnya yang bernama Ken Umang. Pada gilirannya,
Tohjaya kemudian dibunuh oleh anak Anusapati yang bernama Ranggawuni.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 16
Ranggawuni
naik tahta pada tahun 1248 dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana. Ia merupakan
raja Singasari pertama yang namanya diabadikan dalam prasasti
Narasingharmuti.
Dalam kakawin Negarakertagama
disebutkan bahwa Wisnuwardana menobatkan anaknya yang bernama Kertanegara
menjadi raja pada tahun 1254. Kertanegara merupakan raja terbesar Singasari.
Selama pemerintahannya, ia berhasil memperluas wilayahnya hingga meliputi
wilayah Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Nusantara bagian timur. Salah satu
ekspedisi penaklukannya dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dikirimkan
pada tahun 1275 untuk menaklukkan Melayu.
Sementara
itu, perluasan pengaruh Kemaharajaan Cina-Mongol di bawah Khubilai Khan
menimbulkan tantangan terhadap kekuasaan Kertanegara. Ketika sang kaisar
mengirimkan utusan yang menuntut agar Singasari tunduk kepada Cina, Kertanegara
melukai wajah sang utusan yang bernama Mengki. Khubilai Khan murka dan
mengirimkan pasukan untuk menyerang Jawa pada tahun 1292.
Gb. 2.1: Candi
Singosari
Akan tetapi, keruntuhan
Kertanegara ternyata datang dari jurusan lain. Seorang keturunan Raja-raja
Kediri bernama Jayakatwang memberontak terhadap kekuasaan Singasari untuk
memulihkan kembali kejayaan Kediri yang diruntuhkan oleh leluhur Kertanegara.
Dalam suatu serangan, pasukan Jayakatwang berhasil membunuh Kertanegara
meskipun menantunya yang bernama Raden Wijaya berhasil lolos. Kematian
Kertanegara membuat Singhasari runtuh.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 17
)
Majapahit
Pendiri Majapahit ialah
Raden Wijaya. Raden Wijaya merupakan menantu Kertanegara yang berhasil
meloloskan diri ke Madura setelah kematian mertuanya. Dengan bantuan penguasa
Madura bernama Arya Wiraraja, ia menawarkan diri untuk bekerja sama dengan
Jayakatwang di Kediri. Penguasa baru tersebut menerima tawaran tersebut dengan
senang hati. Jayakatwang kemudian memberikan daerah hutan Tarik(sekarang
Trowulan) kepada Raden Wijaya.
Raden Wijaya diam-diam
memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam.
Kesempatan itu datang ketika pada awal tahun 1293 tentara Cina- Mongol yang
dikirim untuk menghukum Kertanegara tiba di Pulau Jawa. Ketidaktahuan tentara
Khublai Khan mengenai perubahan politik di Jawa membuat mereka termakan tipu
muslihat yang dilakukan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Dalam suatu
serangan mendadak, gabungan tentara Mongol dan Raden wijaya berhasil membunuh
Jayakatwang.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 18
Setelah
berhasil mengalahkan Kediri, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan
memaksa mereka lari meninggalkan Pulau Jawa. Kekalahan tentara Khublai Khan
memuluskan jalan bagi Raden Wijaya untuk menjadi penguasa di Pulau Jawa. Ia
dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Sri Kertarajasa Jaya Wardhana
pada 12 November 1293.
Para pengikut
Kertarajasa yang berjasa dalam mendirikan Majapahit kemudian diangkat menjadi
pejabat tinggi kerajaan. Di antara mereka terdapat tokoh-tokoh, yaitu Arya
Wiraraja, Pu Tambi (Nambi), dan Ronggo Lawe. Pengangkatan tersebut menimbulkan
rasa tidak puas bagi sebagian orang yang merasa dirinya lebih berhak dan lebih
pantas bagi jabatan yang lebih tinggi. Hal ini diperparah oleh intrik yang
dilakukan oleh Mahapati, ia berusaha memperkuat kedudukannya sendiri di Istana.
Timbullah serangkaian pemberontakan seperti yang dilakukan Ronggo Lawe pada
tahun 1295 serta Pu Sora dan Juru Demung antara tahun 1298-1300. Di
tengah-tengah kekacauan ini, Raden Wijaya wafat pada tahun 1309.
Pengganti
Raden Wijaya adalah Jayanegara yang bergelar Sri Jayanegara. Pemerintahannya
juga dirongrong oleh berbagai pemberontakan yang merupakan kelanjutan dari apa
yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya. Pemberontakan Nambi tahun 1316
dapat dipadamkan oleh Mahapati. Nambi dan keluarganya dibunuh, kemudian
menyusul pemberontakan Semi pada tahun 1318 dan Kuti 1319. Setelah peristiwa
itu, raja Jayanegara sadar kalau Mahapati ternyata tukang fitnah. Akhirnya, ia
ditangkap dan dihukum mati.
Ketika
terjadi pemberontakan Kuti inilah muncul nama Gajah Mada. Ia adalah anggota
pasukan pengawal raja yang berhasil menyelamatkan raja dalam peristiwa
Bedander, ketika Jayanegara terpaksa mengungsi. Sebagai imbalannya, Gajah Mada
diangkat menjadi patih di Kahuripan dan selanjutnya di Daha.
Pada 1328, Jayanegara
tewas dibunuh oleh Tanca, seorang tabib istana. Peristiwa ini dikenal dengan
Patanca. Setelah kematian Jayanegara sempat terjadi kemelut karena puteri
mahkota yang bernama Gayatri memilih menjadi pertapa. Tahta kerajaan kemudian
diwakilkan kepada puterinya, Tribhuwanatunggadewi (Bhre Kahuripan). Selama
pemerintahan ratu tersebut kemelut politik masih muncul. Hal tersebut terlihat
dengan adanya pemberontakan Sadeng pada tahun 1331. Pemberontakan tersebut berhasil
dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai balasan atas jasanya, Gajah Mada diangkat
menjadi Mangkubumi (perdana menteri).
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 19
Pada saat dilantik,
Gajah Mada mengucapkan suatu sumpah terkenal yang disebut sebagai Sumpah
Palapa. Dalam sumpahnya itu, Gajah Mada bertekat untuk tidak berhenti
beristirahat sampai seluruh Nusantara dipersatukan di bawah panji Majapahit.
Tribhuanatunggadewi menduduki tahta selama 22 tahun dan kemudian menyerahkan
tahta Majapahit kepada puteranya Hayam Wuruk. Hayam Wuruk menjadi raja dengan
gelar Sri Rajasanegara. Selama pemerintahannya yang berlangsung selama 39
tahun, ia didampingi oleh Gajah Mada sebagai patihnya.
Di bawah duet Sri
Rajasanegara dan Gajah Mada, persatuan Nusantara perlahan-lahan dapat
diwujudkan meskipun sempat diwarnai keributan dengan adanya peristiwa Bubat.
Peristiwa yang menewaskan Maharaja Sunda Pajajaran yang bernama Sri Bhaduga dan
Dyah Pitaloka, puterinya yang menjadi calon permaisuri Hayam Wuruk. Peristiwa
ini meretakkan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Hayam
Wuruk sangat memperhatikan kehidupan agama. Ia berusaha mempersatukan 3 aliran
agama, yaitu Buddha, Siwa, dan Wisnu. Kerukunan hidup beragama di Majapahit
dilukiskan oleh Mpu Tantular dalam bukunya Sutasoma dengan kalimat “Bhineka
Tunggal Eka”, yang artinya berbeda-beda tetapi satu atau
keanekaragaman dalam kesatuan. Beberapa pujangga besar yang hidup pada masa
tersebut, adalah Mpu Prapanca dengan karyanya kitab Negarakertagama dan
Mpu Tantular dengan karyanya Arjuna Wiwaha.
Kematian Gajah Mada
pada tahun 1364, yang disusul oleh wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389
menyebabkan kemunduran besar bagi Majapahit. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya lagi pemimpin sekaliber mereka yang memimpin kerajaan. Penguasa kerajaan
Majapahit selanjutnya seperti Wikramawardhana, dan Suhita tidak mampu secara
tegas menindak pembangkangan Bhre Wirabhumi dari Blambangan. Akibatnya, timbul
sengketa berlarut-larut yang kemudian pecahnya perang Paregreg.
Keruntuhan Majapahit
ditandai oleh serangan pasukan Ranawijaya terhadap Kertabhumi (Bhre Kahuripan).
Majapahit direbut oleh musuh. Ranawijaya kemudian memaklumkan dirinya sebagai
raja dan mengambil gelar Sri Maha-raja Wilwatiktapura Janggala Kediri
Prabunatha. Ia merupakan raja terakhir Majapahit. Perang saudara yang
berkepanjangan yang mengakibatkan Majapahit menjadi lemah.
Selain itu, faktor
ekonomi juga ikut mempercepat keruntuhan Majapahit. Pada abad ke-15, Malaka
muncul menjadi sebuah pelabuhan dan kerajaan maritim
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 20
yang penting di Asia
Tenggara. Banyak dari kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh
Majapahit yang melepaskan diri dari kekuasaannya dan berdagang dengan Malaka.
Majapahit kemudian ditaklukkan oleh Demak.
C. Pengaruh dan
Warisan Kebudayaan Hindu-Buddha
Pengaruh Kebudayaan
Hindu-Buddha
Perkembangan
Hindu Buddha di Nusantara tidak sekedar membawa perubahan dalam bidang
keagamaan saja melainkan juga berpengaruh pada kehidupan politik, sosial, dan
budaya.
Perubahan dalam
Bidang Politik
Pengaruh Hindu-Buddha
yang paling nyata di bidang politik yang paling nyata adalah diperkenalkannya
sistem kerajaan. Sebelumnya, kedudukan pemimpin dalam masyarakat Nusantara
ialah orang yang dituakan oleh sesamanya. Sesuai dengan sistem kerajaan yang berlaku
di India, kedudukan pemimpin dalam masyarakat berubah menjadi mutlak dan turun
temurun berdasarkan hak waris(atau dinasti) yang sesuai dengan peraturan hukum
kasta.
Perubahan dalam
Bidang Sosial
Sejalan dengan pengaruh
agama Hindu-Buddha, masyarakat Nusantara terbagi menjadi beberapa golongan
sesuai dengan aturan kasta. Akan tetapi, sistem kasta yang berlaku di
Nusantara tidaklah seketat di negara asalnya.
Perubahan dalam
Bidang Kebudayaan
Pengaruh Hindu-Buddha
di bidang kebudayaan terutama berkaitan dengan penyelenggaraan upacara
keagamaan, seperti upacara sesajen, pembuatan relief, dan candi serta
penggunaan bahasa sanskerta.
Warisan
Kebudayaan Hindu-Buddha Arsitektur
Arsitektur warisan kebudayaan
Hindu-Buddha dapat dilihat dari stupa dan candi. Awalnya stupa dikenal sebagai
kuburan kubah atau bukit makam yang sederhana, kemudian bentuk arsitektur ini
menjadi sebagai bangunan suci bagi umat Buddha. Pada perkembangannya bentuk
kubah pada stupa tetap dilestarikan namun dengan maksud berbeda, yakni sengai
lambang nirwana. Stupa lalu menjadi tempat penyimpanan relik yang dikelilingi
oelh teras berdinding. Gerbangnya terdapat di empat penjuru mata angin,
biasanya dihiasi dengan gambar-gambar timbul (relief).
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 21
Adapun candi merupakan
bangunan peninggalan masa lalu yang digunakan untuk memuliakan orang yang telah
meninggal, khusus bagi para raja dan orang-orang terkemuka. Namun menurut
Sukmono (1973: 81) yang dikubur didalamnya bukan mayat atau abu jenazah melainkan
bermacam-macam benda seperti potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik,
yang disertai dengan saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan dengan pipih,
dan dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah
bersatu kembali dengan dewa penitisnya.
Dilihat dari
asal-usulnya, kata candi berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi
Maut, yaitu candika. Sehingga tidak mengherankan bila candi dihubungkan
dengan orang yang sudah meninggal. Bentuk candi di masing-masing daerah
memiliki perbedaan.
Berikut
ini perbedaan umum bentuk candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Dilihat dari coraknya
candi juga berbeda di tiap daerah. Hal tersebut menyebabkan pengelompokan candi
berdasarkan daerah penemuan. Pengelompokan itu bisa dilihat dari keterangan
berikut ini.
• Kelompok candi di Jawa
Tengah di bagian Utara umumnya tidak beraturan dan lebih merupakan gugusan
candi yang masing-masing berdiri sendiri.
•
kelompok
candi di Jawa Tengah bagian Selatan berdiri ditengah dan candi-candi perwaranya
berbaris teratur di sekelilingnya.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 22
• Kelompok candi di Jawa
Timur induknya terletak di bagian belakang halaman candi, sementara candi
perwara dan bangunan-bangunan lainnya terletak di depan.
Beberapa candi di Jawa
Tengah Utara adalah Candi Gunung Wukir di dekat Magelang, berhubungan dengan
prasasti Canggal tahun 732 M dan Candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran.
Adapun beberapa candi
di Jawa Tengah Selatan adalah Candi Kalasan dekat Yogyakarta didirikan pada
tahun 778, Candi Sari yang terletak di dekat Candi Kalasan, Candi Borobudur
dekat Magelang yang memiliki puncak stupa yang sangat besar dan arca-arca yang
sangat banyak berjumlah 505, Candi Mendut di sebelah Timur Candi Borobudur, dan
Candi Sewu di dekat desa Prambanan yang terdiri atas 2 buah candi induk
dikelilingi oleh ± 250 buah candi perwara yang tersusun dalam 4 baris.
Sementara itu, candi di Jawa Timur adalah
Candi Kidal (candi Anusapati), Candi Jago (candi Wisnuwardhana), Candi
Singosari (candi Kertanegara) dekat Malang, Candi Jawi dekat Prigen, Candi
Panataran di Blitar.
Seni Sastra
Seni sastra peninggalan
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha ialah tampak dalam penulisan prasasti, kitab,
dan kakawin. Prasasti biasanya ditulis untuk memberikan informasi sehubungan
dengan adanya peringatan, perintah, atau keberadaan suatu kerajaan. Pada masa
kerajaan Kutai, informasi itu di pahatkan pada Yupa (tugu batu).
Kitab adalah sebuah
karangan tentang kisah, catatan, atau laporan suatu peristiwa. Pada masa
Hindu-Buddha, kitab ditulis dalam lembaran daun lontar. Isi kitab berupa
rangkaian puisi yang terdiri atas beberapa bait, ditulis dalam bahasa yang
indah. Ungkapan dalam puisi itu disebut kakawin. Beberapa kitab yang ditulis
misalnya, Mahabharata, Arjuna Wiwaha, Negarakertagama, dan Sutasoma.
Seni Rupa/Ukir
Karya seni rupa banyak
dijumpai dalam bentuk relief yang dipahatkan pada dinding candi, biasanya
berupa gambar dan hiasan serta ada yang merupakan rangkaian cerita atau kisah
orang-orang tertentu. Relief-relief itu antara lain dapat ditemui dalam
berbagai candi seperti Borobudur, Prambanan, dan Panataran.
Paket
2 Sejarah Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia 2 - 23
Misalnya, candi-candi
di Jawa Tengah terdapat hiasan gambar pohon. Kebanyakan dari pohon-pohon itu
melambangkan Kalpataru atau Parayata, yaitu pohon yang dapat
memberi segala apa yang diinginkan dan diminta oleh manusia, sedangkan berbagai
bentuk relief yang melukiskan rangkaian cerita, biasanya diambil dari
kitab-kitab kesusasteraan, seperti Ramayana dan dari kitab keagamaan seperti
Karmawibhangga, Kunjakarna, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Badrika,
I Waya. 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Hadiwijono,
Harun. 1987. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Poesponegoro,
Marwati Djoened. dan Nugroho Notosusanto.1993. Sejarah Nasional
Indonesia 2. Jakarta: Balai Pustaka.
Siswoyo, Supartono W.
2000. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta:
Universitas
Trisakti.
Soekmono,
R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 2. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudarmanto.Y.B.
1996. Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung Hingga Syekh Yusuf. Jakarta:
Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar