|
DEN HAAG malam itu menggigil
dalam suhu udara 3 derajat Celcius. "Inilah masjid kita," kata M
Chaeron, mantan Ketua Persatuan Pemuda Muslim se Eropa (PPME), kepada
Republika di Den Haag. Dari luar, bangunan itu tidak mirip dengan masjid
umumnya. Rumah panjang bertingkat dua, tanpa kubah. Suasana masjid baru
terlihat ketika masuk ke dalam. Ada mihrab dan bentangan sajadah. Masjid
Al-Hikmah di Heeswijkpein, Moerwijk kota Den Haag itu awalnya adalah gereja
Immanuel.
Pada akhir 1995, di saat
umat Islam Indonesia berupaya keras mengumpulkan dana untuk mendirikan masjid
-- setelah musholah Al-Ittihad tidak dapat lagi menampung jamaah yang terus
bertambah -- Probosutedjo, pengusaha Indonesia, membeli gereja tersebut dan
mewakafkannya atas nama kakaknya RH Haris Sutjipto, yang wafat di Leiden,
Desember 1995 setelah dirawat di kota itu. Masjid itu diserahterimakan Probo
untuk umat Islam pada 1 Juli 1996.
Mengapa gereja? Untuk
mendirikan bangunan baru di Belanda tidak mudah, sementara ketika itu banyak
gereja yang tidak lagi difungsikan dan dijual kepada umum. Menurut Ahmad
Nafan Sulchan, salah seorang pendiri PPME, masyarakat sekitar gereja lebih
senang gereja itu dijadikan masjid daripada digunakan untuk kepentingan lain,
diskotik misalnya.
Gereja Immanuel itu kini
menjadi masjid. Lantai bawah digunakan untuk pengajian dan kegiatan remaja
Islam. Lantai atas untuk shalat. Pada Ramadhan lalu, masjid Al-Hikmah
dipenuhi warga Indonesia, yang diperkirakan lebih 5.000 orang.
Berdirinya Masjid Al-Hikmah
memperpanjang deretan jumlah masjid di Belanda. Pada 1990 saja, jumlah masjid
sudah mencapai 300 di seluruh Belanda. Ini meningkat jauh dari 1971, yang
ketika itu hanya terdapat beberapa buah, di antaranya Masjid Mubarak yang
didirikan kalangan Ahmadiyah (1953), dan Masjid Maluku An-Nur di Balk. Masjid
Maluku itu didirikan eks anggota Koninklijk Nederlandse Indische Leger
(KNIL). Pada 1951-1952 sekitar 12 ribu anggota KNIL beserta keluarganya dari
Maluku dibawa ke Belanda. Sebagian mereka beragama Kristen, sebagian lainnya
Islam. Saat ini diperkirakan terdapat lebih 50 ribu orang Maluku di Belanda.
Berdasarkan data statistik
Central Bureau de Statistiek 1994, jumlah umat Islam dari 15.341.553 jumlah
penduduk Belanda saat itu, menempati posisi ketiga (3,7 persen), setelah
Katolik Roma (32 persen), dan Kristen Protestan (22 persen). Sebanyak 40
persen warga Belanda mengaku tidak beragama, dan sekitar 0,5 persen pemeluk
Hindu. Pada 1971, jumlah umat Islam 54.300 jiwa, dan meningkat pesat pada
1993 menjadi 560.300 jiwa. Kenaikan rata-rata 0,6 persen setahun. Umat Islam
itu berasal dari Turki (46 persen), Maroko (38,8 persen), Suriname (6,2
persen), Pakistan (2,2 persen), Mesir (0,7 persen), Tunisia (0,9 persen),
Indonesia (1,6 persen), dan lainnya (3,9 persen). Bertambahnya jumlah umat
Islam dari tahun ke tahun itu, diperkirakan berasal dari imigran dan sebagian
lain mendapatkan hidayah, dan pernikahan.
Islam di Belanda awalnya
diperkenalkan sekelompok mubaligh Ahmadiyah. Kelompok yang menamakan dirinya
Holland Mission ini giat berdakwah melalui diskusi dan berbagai tulisan.
Mereka juga menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Belanda.
Dalam In het Land van de
Overheerser karya Harry A Poeze, seperti dikutip Muhammad Hisyam dalam buku
PPME; Sekilas Sejarah dan Peranannya dalam Dakwah Islam di Nederland, orang
Islam pertama yang datang ke Belanda justru adalah Abdus Samad, Duta Besar
Kesultanan Aceh untuk Belanda, pada tahun 1602. Hanya saja, kedatangan Abdus
Samad ketika itu tidak dalam misi dakwah, selain waktu kunjungan yang
singkat.
Selain Ahmadiyah, Islam
mulai berkembang melalui orang-orang Indonesia. Ketika Belanda menerapkan
politik etis, orang-orang Indonesia yang sebagian besar beragama Islam,
berdatangan ke Belanda. Pada 1930-an, mereka mendirikan Perkoempoelan Islam.
Organisasi, yang didirikan seorang Belanda Van Beetem yang kemudian berganti
nama menjadi Mohammad Ali, ini diakui pemerintah Belanda, dan merupakan
organisasi Islam pertama.
Selanjutnya, pada 1951-1952,
sekitar 12 ribu anggota KNIL yang sebagian besar berasal dari Maluku,
sebanyak 200 di antaranya beragama Islam, datang ke Belanda. Mereka yang
semula ditempatkan dalam satu kamp dengan non-Muslim, lalu memisahkan diri
dan bergabung sesama Muslim di kamp Wijldemaerk, Desa Balk, Provinsi
Friesland. Di sinilah mereka membangun Masjid An-Nur yang dipimpin Haji Ahmad
Tan. Sebagian lain, yang pindah ke Riiderkerk, mendirikan Masjid Baiturrahman
yang indah pada 1990. Masjid ini pendanaannya dibantu Pemerintah Belanda.
Muslim Indonesia
Seperti Muslim Maluku,
Ahmadiyah, Maroko, Suriname, dan Tunisia -- yang mendirikan organisasi,
tempat ibadah, dakwah, dan membina agama bagi kelompoknya -- Muslim Indonesia
pun membentuk kelompok tersendiri. Selain Perkoempoelan Islam, juga berdiri
Persatuan Pemuda Muslim se Eropa (PPME) pada 1971. PPME yang hingga kini
tetap bertahan, didirikan oleh mahasiswa dan pemuda Indonesia di Belanda dan
Timur Tengah. Menurut Ahmad Nafan Sulchan, para mahasiswa Indonesia dari
Timur Tengah, termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur) -- kini Presiden RI --
umumnya memilih Belanda dan Jerman sebagai tempat liburan. Melalui
diskusi-diskusi intensif, para pemuda dan mahasiswa Indonesia di perantauan
tersebut, akhirnya disepakati dibentuknya sebuah organisasi.
Pertemuan pertama diadakan
pada musim dingin awal Januari 1971 di Den Haag. Hadir ketika itu dari
Rotterdam yakni Gus Dur, T Razali, Moh Chaeron, A Hambali Maksum, Abdul Muiz
Kaderi, Rais Mustafa, dan Moh Sayuti Suaib. Dari Den Haag hadir Ramhat
Zitter, Amir Alhajri, dan Jus Muhtar; dari Jerman Abdul Wahid Kadungga, Ali
Baba, dan A Donny.
Pada 12 April 1971, PPME
resmi dibentuk. Ketua ketika itu dipilih Abdul Wahid Kadungga, sekteratis
Hambali Maksum. Gus Dur ketika itu diunggulkan memimpin organisasi ini, namun
ia menolak karena berencana pulang ke Indonesia.
Ahmad Nafan Sulchan
bercerita, jika ke Belanda Gus Dur selalu bertemu dengan para pengurus PPME,
bahkan menginap di Mushola Al-Ittihad yang didirikan PPME. Beberapa bulan
sebelum menjadi Presiden RI, Gus Dur sempat mengatakan bahwa jika ia datang
lagi ke Belanda, ia tidak lagi bisa bebas seperti semula karena sudah diatur
protokoler."Ternyata, benar. Gus Dur kini menjadi Presiden," ujar
Nafan kepada Republika di Den Haag dua pekan lalu.
Mushola Al-Ittihad yang
terletak di Daguerrestr No 2 Den Haag itu, juga pernah dikunjungi tokoh-tokoh
Indonesia, antara lain Jenderal Purn AH Nasution, Ruslan Abdul Gani, Munawir
Sadjzali, Nurcholis Madjid, WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan Taufik
Abdullah.
Setelah PPME terbentuk di
Belanda, dua tahun kemudian di Jerman dibentuk pula PPME. Pernyataan
berdirinya PPME pada 19 Januari 1973 itu antara lain ditandatangani oleh
Akias AM, Romdhon Bernama Kusumah, AM Saefuddin, Saiful Rangkuti, Hasbi
Tirtapraja, Sofyan Sadeli, Suparwata Rasyid, Titie Bernama Kusumah,
Syamsuddin, Masykur Abdullah. Ketua umum dijabat Rasjid Soeparwata, seketaris
umum Sofyan Sadeli. Sedangkan AM Saefuddin, mantan Menpangan, sebagai
penasihat.
Dengan berdirinya PPME
Jerman, status PPME Belanda akhirnya dinaikkan menjadi Dewan Pimpinan Pusat
PPME, sedangkan Jerman menjadi Dewan Perwakilan Wilayah. Juga dibentuk DPW
lain, yakni DPW Holland dengan cabang antara lain Amsterdam, Den Haag,
Rotterdam, dan Delf. Di Jerman, dibentuk cabang Dortmund, Frankfurt, Darmstadt,
Offenbach, Giessen, dan Berlin.
Dalam perjalanannya, PPME
yang menyadari posisi umat Islam minoritas, menjalin kerjasama
organisasi-organisasi Islam internasional. Kontak-kontak kerjasama antara
lain dilakukan dengan Mu'tamar al-'Alam al Islami di Pakistan, Muslim Word
League di Makkah, Rabithah al-'Alam al-Islami di Makkah, dan World Assembly
of Muslim Youth (WAMY) di Riyad. Hubungan dengan lembaga-lembaga tersebut
antara lain soal buku-buku dan informasi. PPME adalah anggota tetap WAMY.
Hubungan kerjasama juga
dilakukan dengan organisasi-organisasi Islam di Belanda dan Jerman, antara
lain dengan organisasi Islam Turki, Maroko, Tunisia, dan Suriname. Di
Belanda, juga berdiri Nederlandse Islamitische Parlement (NIP), organisasi
yang bergerak dalam bidang penggalangan dan penyatuan organisasi-organisasi
Islam di Belanda. Selain itu ada pula Federasi Organisatie Muslim Nederland.
Federasi ini berfungsi mewakili kepentingan umat Islam dalam hubungannya
dengan Pemerintah Belanda. Hubungan PPME dengan organisasi-organisasi itu
antara lain menyangkut tukar menukar informasi.
Dalam skala besar, PPME
menjalin hubungan dengan Rabithah Alam Islami, Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII), dan Stichting Der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIS),
dalam mengirim dai-dai ke Suriname. Melalui PPME pula, sejumlah alumni Timur
Tengah berhasil direkrut sebagai guru agama di Suriname.
Selain itu, PPME juga ikut
memprakarsai berdirinya Federatie Organisaties Muslim Nederland, yang
diketuai tokoh Muslim Belanda Abdul Wahid van Bommel. Organisasi ini kemudian
bubar dan diganti Islamitische Informatie Centrum.
Untuk internal, PPME pun
giat mendorong remaja Muslim belajar Islam. Menurut Chaeron, mantan ketua
PPME periode 1976-1979, pada setiap libur para remaja Islam dari Amsterdam,
Den Haag maupun Rotterdam melaksanakan flits school atau pesantren kilat.
"Kita perlu terus menerus memberikan pengajaran agama kepada
mereka," ujar mantan wartawan Harian Abadi ini.
Dalam kegiatan dakwah dan
sosial, PPME antara lain melakukan pengislaman, mengorganisasi perjalanan
haji/umroh, pernikahan, dan memelihara solidaritas kekeluargaan. Dalam
pengislaman, menurut laporan kerja kepengurusan periode pertama (71-73), PPME
mengislamkan 21 orang (enam lelaki, 15 perempuan). Tahun 1984-1986 sebanyak
sembilan orang yang terdiri diri dari orang Indonesia, Belanda, dan Inggris.
Periode berikutnya sebanyak enam keluarga atau 33 orang. Jumlah seluruhnya
tidak ada data resmi.
PPME juga memanfaatkan media
elektronik dalam berdakwah. Melalui Kepala Seksi Siaran Bahasa Indonesia di
Radio Hilversum, Ny Ardamari Sudji, pada 1970-an PPME diberikan kesempatan
untuk mengisi siaran khusus Mimbar Jumat di radio tersebut. Namun sejak
Januari 1994, acara itu ditiadakan lagi karena munculnya peraturan dari Pemerintah
Belanda menghapuskan acara-acara yang tidak diprioritaskan atas pertimbangan
keuangan.
PPME telah berbuat banyak.
Masjid Al-Hikmah, yang semula adalah bangunan gereja, pun berdiri kokoh.
Dalam buku tamu di pintu masuk masjid, Republika menulis pesan: Insya Allah,
dari sini, dari masjid ini, Islam berjaya kembali di Eropa. asro kamal rokan
Diterbitkan oleh Republika
Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa
2000
|
Kamis, 29 Mei 2014
Semburat Cahaya Islam di Belanda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar