Di antara sekian banyak bukti kebenaran
Rasulullah Muhammad saw. yang diangkat oleh Allah swt. ialah:
Pertama.
Bahwa Rasulullah saw. adalah seorang
yang zuhud di dunia. Beliau sama sekali tidak pernah mengharapkan upah atau
balasan atas risalahnya. Demikian juga beliau zuhud dalam hal harta atau segala
sesuatu yang boleh kita katakan sebagai kebendaan (materialis), beliau juga
zuhud dalam kedudukan, pangkat, ketenaran, ketinggian pangkat dan lain-lain
yang berhubungan dengan keduniaan.
Zuhudnya dalam soal harta, jika dilihat
dari kebiasaan kehidupannya saja, kiranya sudah dapat menunjukkan hal ini
dengan bukti yang sejelas-jelasnya. Beliau tidak menghamparkan hamparan yang
terbuat dari sutra, tidak pernah mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra,
juga tidak pernah mengenakan hiasan dari emas. Keadaan rumah dan rumah
tangganya sebagaimana lazimnya manusia biasa. Malah pernah selama dua bulan, di
rumahnya tidak dinyalakan api sama sekali, sebagai tanda bahwa yang dimasak
tidak ada. Oleh sebab dua bulan tidak pernah memasak, maka Urwah r.a. pernah
bertanya kepada bibinya yakni istri beliau yaitu Aisyah r.a. isi pertanyaan itu
berbubungan dengan makanan. Urwah berkata, “Bibiku! Apakah yang dapat bibi
gunakan sebagai bahan makanan?” Aisyah menjawab, “Hanya dua benda hitam belaka
(aswadan) yakni kurma dan air.”
Pada suatu ketika Umar bin Khattab r.a.
melihat Rasulullah saw. tidur di atas selembar tikar yang sudah usang, malah
tubuh beliau berbekas garis-garisnya. Umar r.a. lalu menangis. Rasulullah saw.
bertanya, “Apa sebabnya engkau menangis?” Umar r.a. berkata, “Bagaimana keadaan
Kisra (Maharaja Parsi) dan Kaisar (Maharaja Romawi) sama tidur di atas sutera
tebal dan tipis, sedang Tuan sebagai Rasulullah sampai membekas dilambung Tuan
hamparan tikar.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Hai Umar! Tidakkah engkau rela
jika dunia ini mereka miliki sedang kita akan memiliki akhirat?.”
Terjadi pula peristiwa yang lain yaitu
pada suatu hari harta rampasan perang datang kepada Rasulullah saw. setelah
kaum muslimin memperoleh kemenangan gilang-gemilang. Para istri beliau ingin
sekali mendapatkan sebagian dari harta itu agar dapat meringankan kehidupan
yang serba kekurangan. Kemudian mereka bersama-sama meminta kepada beliau agar
diberi bagian dari harta rampasan tersebut. Tiba-tiba turunlah sebuah ayat yang
mulia yang dengan tegas menolak apa yang mereka inginkan. Ayat yang mulia itu
menyebutkan, “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu semua
menghendaki kehidupan dan perhiasan dunia, maka marilah Kuberikan kesenangan
padamu dan akan kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Tetapi jika kamu semua
menghendaki Allah dan rasul-Nya serta perumahan di akhirat, maka sesungguhnya
Allah telah menyediakan pahala yang besar untuk orang-orang yang berbuat
kebaikan dari antaramu’." (Q.S. Al-Ahzab:28-29) Setibanya wahyu tersebut,
Rasulullah saw. mengumpulkan seluruh istrinya, lalu bersabda yang maksudnya,
apakah kalian lebih menginginkan Allah, rasul-Nya dan perumahan akhirat yang penuh
bahagia ataukah lebih mencintai harta keduniaan, serta kesenangan-kesenangan
yang sementara. Mereka semua memilih mencintai Allah, rasul-Nya dan kebahagiaan
di akhirat. Oleh sebab itu turunlah ayat yang mulia yang merupakan pujian
terhadap ketegasan sikap mereka, yaitu, “Hai istri-istri nabi, kamu semua
tidaklah seperti wanita-wanita lain. Jika kamu semua takut kepada Allah,
janganlah kamu semua tunduk dalam berbicara, sehingga orang yang ada penyakit
dalam hatinya berkeinginan, tetapi ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S.
Al-Ahzab:32)
Tentang berbicara dengan lemah-lembut
yang dilarang untuk para istri nabi saw. karena dapat menimbulkan keinginan
nafsu bagi orang-orang yang buruk budi pekertinya atau yang jahat perangainya.
Oleh karena itu diperingatkan kepada mereka supaya berkata yang sebenarnya dan
dengan tegas dan wajar.
Kezuhudan Rasulullah saw. dapat pula
dibuktikan di waktu wafatnya. Ketika wafatnya, baju besinya sedang digadaikan
kepada salah seorang Yahudi.
Beliau selama hidupnya belum pernah kenyang
sekalipun, dari makanan roti.
Kezuhudan Rasulullah saw. dalam hal
kepangkatan, ketinggian derajat dan sebagainya, maka dapat ditinjau dari
hal-ihwalnya sehari-hari.
Pada suatu hari para sahabat memuji dan
mengelukannya, tetapi bukan makin senang hati beliau melihat sikap mereka
tersebut, bahkan menunjukkan rasa tidak senang dan bersabda, “Janganlah kamu
semua menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana sanjungan yang diberikan oleh kaum
Nasrani kepada Almasih (Isa) bin Maryam.”
Suatu ketika Walid bin Mughirah datang
kepada beliau sebagai utusan yang dikirim oleh kaum musyrik di Mekah. Maksud
utama ialah hendak menawarkan apa saja yang kiranya beliau suka terima asal
tidak menyebar-luaskan agama yang dibawanya. Tetapi beliau jawab dengan tegas
sekali. Dia bacakan di hadapan utusan itu permulaan surah Hamim/Fushshilat yang
ringkasnya tawaran yang bagaimanapun, jika sifatnya hendak menghalang-halangi
dakwahnya, pasti ditolak mentah-mentah. Padahal tawaran yang diajukan itu
adalah berupa harta, pangkat sebagai raja, wanita dan sebagainya. Inilah
kezuhudan yang merupakan salah satu tabiat dari sekian banyak rangkaian akhlak
tinggi yang dimiliki oleh Rasulullah saw. itu.
Kedua
Di antara bukti-bukti kebenaran nubuwah
Rasulullah saw. ialah bahwa beliau seorang umi yakni tidak pandai membaca dan
menulis. Tetapi sekalipun demikian beliau dapat melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan besar sebagaimana yang kita saksikan di muka, padahal
beliau tidak pernah memasuki sekolah, tidak pernah belajar dari guru. Namun
demikian beliau berhasil sekali menunaikan kewajiban dan tugasnya dan dapat
mencapai tingkatan yang tidak pernah dicapai oleh orang sebelumnya atau pun
sesudahnya.
Alquran sendiri memberikan catatan
mengenai hakikat yang sedemikian ini, agar supaya dapat dijadikan pertanda
tentang kebenaran beliau serta bukti amanahnya. Allah Taala berfirman,
“Begitulah Kami (Allah) wahyukan padamu wahyu (Alquran) dengan perintah Kami.
Engkau dahulunya tidak mengetahui apa kitab itu dan apa pulakah kepercayaan
itu. Kami jadikan Alquran cahaya yang terang yang dengannya Kami pimpin
orang-orang yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya
engkau memberikan petunjuk ke jalan yang lurus. Yaitu jalan Allah yang
kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, semua
perkara kembalinya kepada Allah semata-mata.” (Q.S. Asy-Syura:52-53)
Memang dahulunya Rasulullah saw. juga
seperti manusia biasa, tidak mengetahui sedikit pun tentang kenubuwatan dan
bahkan tidak dapat sampai kepada Zat Yang Maha Tinggi. Jadi dia memperoleh
semua lewat kedua tangannya sebagai mukjizat yang dikaruniakan oleh Allah Taala
kepadanya.
Pikirkanlah, betapa banyaknya kaum
terpelajar, yang semata-mata mencurahkan perhatian sepanjang usianya untuk
mencari ilmu pengetahuan dan penelitian yang ajaib-ajaib, tetapi mereka pasti
tidak mampu memperoleh sesuatu yang pernah dicapai oleh Rasulullah saw. Tidak
perlu disangsikan lagi bahwa semua yang disebutkan kenyataannya hanyalah dengan
sebab pertolongan dan pengokohan dari Allah swt. belaka.
Alquran menyebutkan, “Dan engkau
(Muhammad) sebelum Alquran ini, tidak dapat membaca kitab dan tidak dapat pula
menuliskannya dengan tangan kananmu. Andai kata engkau dapat menulis dan
membaca, pastilah orang-orang yang mengingkari kebenaranmu akan menjadi
ragu-ragu (sebab menyangka bahwa Alquran buatan Muhammad sendiri).” (Q.S.
Al-Ankabut:48)
Persoalan keadaan beliau di atas cukup
disaksikan oleh para lawan dan musuhnya yang pernah berhadapan dengannya.
Hakikat dan kenyataan yang demikian tidak pernah disangsikan oleh siapa pun
juga, baik kawan maupun lawan. Jadi kenyataannya ialah bahwa wahyu Alquran tadi
bukan ciptaan Muhammad saw. sendiri, sebab jangankan mengarang seperti itu,
menulis dan membaca pun tidak bisa. Bukankah ini suatu kenyataan yang tidak
dapat dibantah lagi.
Allah Taala berfirman, “Apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, maka orang-orang yang tidak
mengharapkan menemui Kami berkata, ‘Kemukakanlah Alquran yang lain dari ini
atau rubahlah.’ Katakanlah kepadanya, ‘Tiadalah pbagiku untuk merubahnya dengan
kemauan diriku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan padaku.
Sesungguhnya aku takut kepada siksaan
hari yang dahsyat kalau aku mendurhakai Tuhanku.’ Katakanlah, ‘Jika Allah
menghendaki yang lain, tidaklah ayat ini kubacakan dan tidak pula Dia
mengajarkan ayat itu kepadamu. Sesungguhnya seluruh hidupku sebelum (diturunkan
Alquran) ini, bersama-samamu, mengapa kamu semua tidak merenungkannya’.” (Q.S.
Yunus:15-16)
Ketiga
Ada hal lain yang dapat dijadikan
sebagai bukti kebenaran nubuwat
Rasulullah saw., yaitu sifat shidiq (benar) yang dimiliki oleh beliau,
yakni tidak pernah berdusta. Perihal benarnya Rasulullah saw. dalam segala
ucapan dan kata-katanya ini, telah disaksikan oleh seluruh umat manusia saat
itu. Memang belum pernah terlihat sekalipun bahwa beliau berbuat kedustaan,
baik sebelum diutus sebagai rasul apa lagi sesudahnya. Ketika beliau pertama
kali didatangi oleh wahyu, beliau segera pergi ke tempat istrinya yakni
Khadijah dan bersabda, “Sungguh saya takut tentang diriku sendiri ini.”
Khadijah berkata kepadanya, “Demi Allah, tentu Allah tidak akan menghinakan
Tuan selama-lamanya. Bukankah Tuan selalu benar dalam percakapan, mempererat
tali kekeluargaan, menanggung beban kerabat, menjamu tamu, memberikan bantuan
pada orang yang kekurangan dan menolong penderita sepanjang masa?”
Rasulullah saw. untuk pertama kali
menunjukkan kenabiannya (diangkat sebagai nabi) kepada Abu Bakar r.a. dan
mengharapkan padanya supaya ia memeluk agama Islam. Abu Bakar r.a. dengan
spontan saja mempercayai.
Apakah yang menyebabkan beliau segera
menyatakan keimanannya? Tidak lain hanya karena beliau sudah tahu benar akan
sifat shiddiqnya serta amanatnya Rasulullah saw. Sewaktu Rasulullah saw.
menunjukkan risalahnya, tampak pula adanya sifat shiddiq itu dalam wajahnya.
Pernah pula suatu ketika seorang Arab (orang Arab pedalaman) datang kepada
Rasulullah saw. dan baru saja melihat air mukanya, dengan cepat orang tersebut
berkata, “Wajah semacam ini, demi Allah, bukanlah wajah seseorang yang suka
berdusta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar