Sabtu, 10 Mei 2014

KISAH AL BUKHARI



Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu al-Mughirah al- Bukhari yang kemudian dikenal dengan nama Imam Bukhari, sejak lahir seakan sudah dipersiapkan untuk menjadi ahli hadits dan fiqh ternama. Ia menjadi pengumpul hadits shahih terbesar dengan kemampuannya menghafal 100 ribu hadits shahih dan 200 ribu hadits tidak shahih. Ia adalah seorang perintis dan pengembang lebih jauh tentang penyusunan kitab hadits, yang dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan ummat manusia. Hasil kerja ilmiahnya itu, dibukukan ke dalam sebuah kitabnya yang sangat terkenal dan monumental, yang diberinya judul Al-Jami' ash-Shahih, yang di kalangan ummat Islam menduduki ranking kedua setelah Kitabullah. 

Tatkala menyusun kitab shahih yang populer dengan dengan Kitab Shahih Bukhari itu, di dalam memori pikiran Imam Bukhari telah tersimpan satu juta hadits dari delapan puluh ribu rawi. Dari jumlah itu, 7.275 buah hadits saja yang dianggapnya shahih, termasuk banyak hadits yang diulang- ulang dari berbagai bab yang terdapat dalam kitab tersebut. Sedang untuk kitab shahih-nya ia memilih 9.082 hadits yang ditulisnya dalam waktu 16 tahun. Semuanya itu ia lakukan selama masa pengembaraannya di negeri orang. Dikatakan oleh KH. Jamil Akhmad dalam bukunya Hundred Great Muslims, "Sebagian terbesar tulisan Imam Bukhari yang terdapat dalam kitab Jami'us Shahih, penulisannya dikerjakan di samping makam Rasulullah saw di Madinah dalam kondisi suci dari najis." 

Sebagai seorang ahli hadits, reputasi kepakaran dan kealimannya belum tertandingi oleh siapa pun sampai saat ini. Betapa tidak, pada umur kurang dari sepuluh tahun ia sudah menghafalkan hadits. Pada umur sebelas tahun ia telah sanggup mengoreksi kesalahan sanad hadits. Dan dalam umur enam belas tahun ia telah hafal beberapa buah kitab hadits karangan Ibnu al-Mubarak dan karangan Waqi'. 

Imam Bukhari dilahirkan pada 13 Syawal 194 H/816 M, di Bukhara. Masa balitanya dilaluinya dengan penderitaan yang sangat memilukan hati kedua orang tuanya, disebabkan buah hatinya mengalami kebutaan total. Namun, permohonan ayah dan ibunya dikabulkan oleh Allah, setelah sebelumnya ibu Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim as, yang dalam mimpinya mengatakan, "Doamu dikabulkan oleh Allah swt." Dan ternyata benar, Bukhari sembuh total dari penderitaan kebutaan pada keesokan harinya. 

Setelah memasuki usia remaja tepatnya pada usia 16 tahun bersama ibu dan abang sulungnya, Rasyid Ibnu Ismail, Bukhari mengunjungi berbagai kota suci terutama Makkah dan Madinah. Dua tahun belajar di dua kota tersebut, ia telah mampu menyelesaikan tulisannya yang berjudul Qadaaya ash-Shahaabat wa at-Taabi'iin. Lalu mulailah ia melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mempelajari ilmu hadits dengan mendatangi beberapa pakar hadits di beberapa negara di timur tengah. Ia telah mengunjungi Iraq, Khurasan, Syria, dan Mesir untuk memperdalam kepakarannya. 

Mengenai kecerdasan dan kemampuan menghafal Imam Bukhari, banyak pakar hadits yang memberikan kesaksian, di antaranya Ibnu Khuzaimah (w. 311 H). Katanya, "Saya tidak tahu jikalau ada di bawah langit Allah ini orang yang paling alim dengan hadits Rasulullah selain al-Imam al-Bukhari." Bahkan ada seorang tokoh yang kesohor, yang sangat mengaguminya yaitu Imam Muslim Ibnu al-Hajjaj (204-261 H) yang mengatakan pujiannya itu langsung kepada Imam Bukhari, "Biarkanlah aku cium dua kakimu wahai guru dari segala guru dan tokoh dari segala ahli hadits." 

Ketenaran Imam Bukhari segera mencapai bagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi selalu dielu-elukan. Masyarakat heran dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Banyak cendekiawan dan orang shalih dari seluruh dunia menjadi muridnya. Termasuk di antaranya Sheikh Abu Zarah Abu Hatim Tarmizi, Muhammad Ibnu Nasr, Ibnu Hazima, dan Imam Muslim. 

Di samping terkenal sebagai Imam al-Muhaddisiin, ia juga terkenal sebagai seorang ahli hukum fikih dan sebagai mujtahid. Bahkan ia juga pernah menulis kitab tafsir At- Tafsir al-Kabiir dan kitab sejarah at-Taariikh al-Kabiir. 

Untuk mengembangkan keahliannya di bidang hadits, Imam Bukhari menyempatkan diri hijrah untuk beberapa lama dan tinggal di Bagdad. Selama di Bagdad waktunya dihabiskan untuk mempelajari hadits dan bersilaturrahim kepada ulama-ulama ahli hadits. Inilah awal namanya dikenal di kalangan pakar hadits di luar kampung halamannya. 

Apalagi setelah ia dianggap 'lulus' dari ujian yang mereka lakukan. Suatu saat ulama-ulama ahli hadits di kota itu mengundang Imam Bukhari dalam suatu acara temu ilmiah yang khusus membahas ilmu-ilmu hadits. Dalam pertemuan tersebut ada sekelompok pakar hadits yang meminta kepada Bukhari menyusun kembali seratus hadits yang telah diacak baik sanad maupun matan-nya. Ternyata Bukhari memang ahli di bidangnya, ke-seratus hadits tersebut mampu disusunnya kembali tanpa ada kesalahan satu pun. 

Merasa cukup mempelajari ilmu hadits, Imam Bukhari pulang kampung. Tak pelak kehadirannya mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tidak hanya masyarakat awam, tapi gubernur Khalid bin Ahmad pun menyambutnya dengan gembira. Saking kagumnya gubernur berhasrat mengundang sang Imam agar mau memberikan pelajaran privat kepada putra-putranya di kediaman gubernur. Namun Imam Bukhari yang dikenal sangat pendiam, pemalu, pemberani, tawadlu', dan dermawan ini tidak mengabulkan permintaan gubernur. Ia hanya mau mengajar siapa saja manakala muridnya bersedia datang belajar di rumahnya. 

Tentu saja gubernur, yang tidak biasa mendengar perintahnya ditolak, jadi marah-marah oleh sikap Bukhari. Sang gubernur kemudian mengusirnya dari kampung kelahirannya. 

Tak ada jalan lain. Sekalipun biasa mengembara, mneninggalkan kampung halaman dengan status orang usiran tentu dirasanya tak enak. Tapi apa mau dikata. Bukhari pun berhijrah. Tidak terlalu jauh, karena masih di Asia Tengah. Ia menetap di Samarkand. Kegiatannya di sana sama saja, mengajar dan mempelajari hadits, hingga ia meninggal pada usia 62 tahun. Eloknya, kewafatannya bertepatan dengan malam 'Idul Fitri 256 Hijriah, setelah genap 30 hari puasa dijalani. 

Di jaman Imam Bukhari, banyak orang yang telah melakukan penyelewengan terhadap hadits-hadits Rasulullah saw untuk berbagai kepentingan. Bentuk penyelewengan itu dapat berupa pemalsuan, pembelokan makna, ataupun pengaburan sumber dan keterangannya. Maklum, penjual agama saat itu memang banyak sekali bergentayangan. 

Medan ilmu hadits bagaikan lautan yang luas tak bertepi, karena di sini --tidak sebagaimana terhadap, kitab al- Qur'an-- terbuka kesempatan untuk melakukan penyelewengan. Dalam kondisi jalur komunikasi belum selancar sekarang, keabsahan terhadap suatu hal tidak bisa dikoreksi secara terbuka. Membuat hadist baru gampang dilakukan, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Itulah sebabnya banyak beredar hadits palsu, bercampur dengan hadits asli. 

Untunglah Bukhari hadir. Dari kecemerlangan pemikirannya, lahir standarisasi ilmu hadits, yang bisa dipergunakan sepanjang masa. Ia menetapkan ukuran-ukuran bagi sebuah hadits agar layak dikelompokkan ke dalam hadits shahih. Itulah dasar-dasar ilmu hadits yang tetap menjadi pegangan hingga sekarang. 

Dalam tahap penyeleksian hadits-hadits shahih, nampaklah kejeniusan dan kepakaran Bukhari. Ia memilih dan memilahnya dengan sangat teliti. Bukhari memang sangat teguh memegang amanat dalam mengemukakan isi hadits yang diriwayatkannya, dan secara moral ia mempertanggungjawabkannya dengan sungguh-sungguh. Ia melakukan proses ijtihadi yang mendalam dan detail untuk sampai pada tujuan hakiki dengan seluruh cara yang paling baik dan benar. 

Ukuran utama yang dijadikan pedoman untuk mengetahui apakah sebuah hadits itu shahih atau palsu dimulainya dari kebenaran dan kejujuran para perawi hadits, ahli hadits, berikut identitas mereka. Ia juga meneliti sampai sejauh mana ketaqwaan, kejujuran, dan fanatik madzab orang-orang yang terlibat secara langsung dalam mata rantai periwayatannya. 

Bila mereka terbukti bersih dan tidak terlibat hal-hal tersebut di atas, ia anggap orang itu layak untuk dipercaya (tsiqat). Terlebih bila ada ketersambungan jaman dengan orang-orang yang meriwayatkan hadits, penulis hadits, dan namanya tercantum dalam mata rantai perawi hadits itu, maka, oleh Imam Bukhari, hadits itu dianggap shahih. 

Jadi keshahihan hadits menurut Bukhari terletak pada sanad (mata rantai rawi), bukan pada matan (isi atau inti) haditsnya. Ia pernah mengatakan, "Sanad merupakan tiang pancang hadits. Bila ia roboh, akan robohlah haditsnya. Jika sanad itu benar, hadits dapat diterima, walau bagaimanapun isinya. Meskipun isi hadits itu berlawanan dengan logika atau sejarah yang sudah benar." 

Metodologi inilah yang oleh Husein Ahmad Amin dikritik. Dikatakannya, cara seperti ini bisa terkecoh siasat pemalsu hadits. Misalnya, bisa saja seseorang membuat silsilah atau mata rantai riwayat yang sangat bagus hingga tak mungkin dikesampingkan, dan isinya didasarkan atas logika yang benar. Toh tidak mungkin semua manusia mencapai tingkat pemahaman atas semua hadits Rasulullah saw. 

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan, "Dasar penyeleksian hadits shahih dari yang palsu adalah dengan menggunakan pembedaan antara yang mungkin dan yang mustahil." Sedangkan menurut Ibnu Abdul Barr dan Imam Nawawi, "Hadits shahih itu harus tidak bertentangan dengan logika dan hakekat sejarah." 

Namun Imam Bukhari dalam Shahih-nya tetap menegaskan, "Hadits shahih adalah hadits yang keshahihannya disepakati oleh rawi tsiqat yang meriwayatkan dari seorang sahabat yang masyhur, yang tidak terjadi perselisihan pendapat di antara para tsiqat itu sendiri. Selain itu, mata rantai sanad hadits itu harus bersambung, tidak terputus." Berbagai pendapat ini sebenarnya berujung pada satu titik yang sama, yakni keshahihan hadits mensyaratkan terpercayanya perawi dan kebenaran isinya. Adapun terhadap Imam Bukhari, selayaknya tetap dihargai keseriusan dan jasa- jasanya, apalagi ia terbiasa mandi dan shalat dua rakaat sebelum memutuskan sebuah hadits termasuk shahih. 

Luasnya samudra ilmu Bukhari membuatnya semakin tawadhu dan pemalu. Suatu kali ia pernah berkata, "Aku berharap untuk berjumpa dengan Allah, dan Dia tidak meng-hisab-ku yang telah menggunjing orang." Ucapannya ini dibuktikan dengan caranya mendaifkan hadits yang diseleksi. Jika menemukan rawinya batal atau tertolak, ia cukup mengatakan, "Ada sesuatu dalam dirinya," atau, "Mereka tidak berkata apa-apa tentang dirinya." Jarang sekali Bukhari sampai mengatakan dengan terus terang, "Fulan itu seorang pembohong." 

Betulkan ? 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar