BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan agama Islam,
terutama pendidikan aqidah dan akhalak merupakan sarana penting untuk
meningkatkan etika, moral dan SDM manisia secara umum dalam menjamin
keberhasilan tegaknya syari’at Islam dan keberlangsungan pembangunan suatu
bangsa. Namun sayangnya, berdasarkan pengamatan di lapangan banyak ditemukan
pelaksanaan pembelajaran masih kurang variatif, proses pembelajaran memiliki
kecendrungan pada metode tertentu (konvensional) dan tidak memerhatikan tingkat
pemahaman siswa terhadap informasi yang disampaikan. Siswa kurang aktof dalam
proses belajar, siswa lebih banyak mendengar dan menulis yang menyebabkan isi
pelajaran sebagai hafalan sehingga siswa tidak memahami konsep yang sebenarnya.
Sejauh ini pendidikan kita masih
didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang
harus dihafal. Kelas masih fokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan.
Oleh karena itu, disini kami
berusaha menyajikan berbagai strategi dan metode yang berbasis al-Qur’an dan
Hadits dalam pembelajaran aqidah akhlak di sekolah dasar atau madrasah yang
mungkin dapat dijadikan rujukan dalam mencari terobosan baru untuk meningkatkan
kualitas pendidikan serta mencapai tujuan bersamama.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Strategi yang
bagaimanakah yang dapat digunakan dalam membelajarkan aqidah akhlak di
MI ?
2. Apa metode-metode yang dapat diterapkan dalam
membelajarkan aqidah akhlak di MI ?
C. TUJUAN
1. Menjelaskan bentuk-bentuk strategi yang dapat digunakan dalam
membelajarkan aqidah akhlak di MI .
2. Mendeskripsikan macam-macam metode yang dapat diterapkan dalam
membelajarkan aqidah akhlak di MI .
BAB
II
PEMBAHASAN
STRATEGI DAN
METODE BERBASIS AL-QUR’AN DAN SUNNAH DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK DI MI
- STRATEGI BERBASIS AL-QUR’AN DAN SUNNAH DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK DI MI.
Strategi belajar
mengajar menurut konsep Islami, pada dasarnya adalah sebagai berikut:[1]
1.
Proses belajar mengajar dilandasi dengan kewajiban yang
dikaitkan dengan niat karena Allah SWT.
Niat amat berperan dalam memberi makna dan hukum bagi pelaksanaan suatu amal atau
perbuatan. Ia adalah faktor penentu bagi menetapkan suatu perbuatan baik,
apakah perbuatan tersebut termasuk ibadah atau tidak. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW yang artinya:
“Segala
perbuatan akan sah menurut niatnya. Dan bagi setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan”. (HR. Bukhari & Muslim).
Begitu pula firma Allah SWT dalam Al-Qur’an yang
berbunyi:
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS.
al-Bayyinah: 5).
Kewajiban guru
dalam menilai tujuan dan melaksnakan tugas mengajarkan ilmu adalah karena niat
untuk mendekatkan diri kepada Allah semata-mata. Tugas mengajarkan dan
mengamalkan ilmu dalam proses belalajar mengajar adalah kewajiban pendidik,
sedangkan peserta didik mempunyai kewajiban menuntut ilmu dari pendidik
tersebut. Hal ini sudah merupakan fitrah manusia yang terjadi dalam proses
belajar mengajar, dimana kedua-duanya saling berintraksi untuk mencapai tujuan.
Allah SWT memberikan potensi pada diri manisia berupa fitrah yang melekat pada
dirinya, panca indra serta daya fikir (akal) untuk mendapatkan bermacam-macam
ilmu melalui proses pembelajaran.[2]
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur”. (QS. an-Nahl: 78).
Dengan dilandasi
oleh niat yang kuat karena Allah dalam mempelajari agama, secara otomatis siswa akan menggunakan
pendekatan achieving dalam belajarnya yang berciri khusus yang disebut
ego-enhancement yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi
kekuatan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya.[3]
2.
Konsep belajar mengajar harus dilandasi dengan niat
ibadah.
Bagian paling penting dalam pendidikan agama adalah
memdidik murid agar beragama, memahami agama (knowling), dan terampil dalam
melaksanakan agama (doing). Dalam pembelajaran bidang agama ini memerlukan
pendekatan-pendekatan naql, aqal dan qalbu. Selain itu juga, diperlukan sarana
yang memadai sehingga mendukung
terwujudnya pembelajaran yang sesuai dengan karakter pendidikan agama.[4]
Landasan ibadah dalam proses belajar mengajar merupakan
amal saleh, karena melalui peribadahan dapat banyak hal yang diperoleh oleh
seorang muslim (guru dan murid) yang kepentingannya bukan hanya mencakup
individual, melainkan besifat luas dan universal serta tidak membuat
kesenjangan antara ilmu agama dengan ilmu umum, akan tetapi semua ilmu
pengetahuan berasal dan harus sesuai dengan nilai uluhiyah.
Allah SWT menciptakan manusia bukannya tanpa tujuan, akan
tetapi Dia menciptakan manusia sesungguhnya dengan tujuan tertentu, yaitu untuk
menyembah dan beribadah kepada-Nya. Tujuan tersebut dijelaskan melalui
firman-Nyadalam al-Qur’an, yang berbunyi:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS.adz-Dzariyat: 56).
Abdurrahman An-Nahlawi (1995)
mengemukkakan bahwa hikmah pendidikan
disertai ibadah adala sebagia berikut:[5]
a.
Dalam konsep Islam, melalui ibadah manusia diajari untuk memiliki
intensitas kesadaran berfikir.
b.
Dimanapun seorang muslim berada, melalui kegiatan yang ditujukansemata-mata
untuk ibadah kepada Allah SWT, dia akan selalu merasa terikat oleh ikatatan
yang berkesadaran, sistematis, kuat, serta didasarkan atas perasaan jujur dan
kepercayaan diri.
c.
Ibadah yang terus-menerus dilakukan dalam kelompok yang padu, di bawah
panji Allah yang satu, dan semuanya bermunajat kepada-Nya akan melahirkan rasa
kebersamaan sehingga kita terdorong untuk saling mengenal, saling menasehati
atau bermusyawarah untuk mencari ridho Allah SWT.
d.
Dalam Islam ibadah dapat mendidik jiwa seoramg muslim untuk mersakan
kebanggaan dan kemuliaan terhadap Alla SWT.
e.
Melalui ibadah, seorang muslimpun akan terdidik untuk memiliki kemampuan
dalam melakukan berbagai keutamaan secara konstan dan mutlak.
f.
Pendidikan yang berdasarkan ibadah dapat membekali manusia dengan muatan
kekuatan yang intensitasnya lebih tinggi dan abadi karena semuanya bersumber
dari kekuatan Allah, kepercayaan kepada Allah, optimisme yang bersumber dari
pertolongan Allah dan pahala surga, serta kesadaran dan cahaya yang bersumber
dari Allah SWT.
g.
Mendidik seseorang dengan ibadah akan memperbaharui jiwa yang bukan hanya
karena di dalamnya ada muatan cahaya, kekuatan, perasaan dan harapan, melainkan
karena ibadah seorang muslim merupakan ruang untuk megekspresikan tobatnya.
Pupuh Fathurrohman (2000) menegemukakan out put pendidikan disertai ibadah
adalah sebagai berikut:[6]
a.
Religius Skill People, yaitu insan yang akan menjadi tenaga-tenaga terampil sekaligus mempunyai
iman yang teguh dan utuh. Religiusitasnya diharafkan terrefleksi dalm sikap dan
perilaku, dan akan mengisi kebutuhan tenaga di berbagai sektor di tengah-tengah
masyarakat global.
b.
Religius Community Leader, yaitu insan yang akan menjadi penggerak dinamika
transformasi sosio-kultural. Sekaligus menjadi penjaga gawang terhadap
akses-akses negatif pembangunan masyrakat dan mampu pula membawakan aspirasi
masyarakat, terutama golongan the silent
majority, serta melakukan kontrol atau pengendalian sosial (social control dan reformer).
c.
Religius Intellectual, yaitu yaitu insan yang mempunyai integritas, istiqomah, cakap melakukan analisis
ilmiah serta concern terhadap masalah-masalah sosial dan budaya.
3.
Di dalam proses belajar mengajar harus saling memahami
posisi, guru sebagai guru dan murid sebagai murid.
Dari semua pengertian pendidikan terlihat penekanan
pendidikan Islam pada “bimbingan” bukan pengajaran yang mengandung konotasi
otoritatif pihak pelaksanaan pendidikan. Disini seorang guru lebih berfungsi
sebagai “fasilitator” atau penunjuk jalan kearah penggalian potensi anak didik.
Dengan demkian, guru bukanlah segala-galanya, sehingga cendrung menganggap anak
didik bukan apa-apa, manusia yang masih kosong yang perlu diisi.[7]
Pendidik hakikatnya adalah bapak rohani (spiritual
father) bagi anak didiknya, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu,
pembinaan akhlak mulia, sekaligus meluruskannya. Oleh karena itu guru
seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua aak didiknya. Jadi
hubungan psikologis antara guru dan anak didiknya seperti hubungan naluriah
anatara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang
harmonis tersebut akan berpengaruh positif
ke dalam proses pendidikan dan pengajaran.[8]
4.
Harus menciptakan komunikasi yang seimbang, komunikasi
yang jernih dan komunikasi yang transparan.
Komunikasi adalah inti dari proses belajar mengajar.
Untuk mencapai intraksi belajar mengajar perlu adanya komunikasi yang jelas antara guru dan murid
yang akan mewujudkan dua kegiatan efektif yaitu: kegiatan mengajar (usaha guru)
dan kegiatan belajar (tugas siswa) yang berdaya guna dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebagai seorang pendidik dituntuk untuk
memiliki kompetensi dan keterampilan dalam hal ini.
Untuk mewujudkan pendidik yang memiliki kompetensi kita
dapat mengacu pada tuntunan Rasulullah SAW, karena beliau satu-satunya pendidik
yang paling berhasil dalam rentang waktu yang begitu singkat. Keberhasilan
Rasulullah SAW sebagai pendidik didahului oleh bekal kompetensi yang
berkualitas unggul dan kepeduliannya dalam paham “iqra’bismirabbik”. Selanjutnya beliau mampu mempertahankan dan
mengembangkan kualitas iman, amal saleh, berjuang dan bekerja sama menegakkan
kebenaran serta mamapu bekerja sama dalam kesabaran.
Jadi jelas bahwa keberhasilan suatu proses pembelajaran
didukung juga oleh komunikasi yang baik dan benar, sebagaimana firman Allah SWT
yang berbunyi:
ôÅÁø%$#ur Îû Íô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎÏJptø:$# ÇÊÒÈ
“Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai”.(QS. Luqman: 19).
Ayat al-Qur’an di atas menyebutkan bahwa
komunikasi hendaknya menggunakan bahasa dan kata-kata yang tepat dan
disesuaikan dengan pemahaman dan pengalaman para peserta didik kita. Dari segi psikologi, latar belakang pengalaman
orang yang diajak bicara itu disebut apersepsi
atau fieled experience. Efektivitas
komunikasi ini disebutkan pula dalam hadis Nabi dengan istilah biqadri ‘uqulihim (atas dasar kemampuan
akalnya): khathibunnas biqadri ‘uqulihim (ajaklah manusia itu bicara, sesuai
dengan kemapuan akalnya).[9]
5.
Mendidik dengan ketauladanan yang baik.
Al-Qur’an telah memberikan contoh bagaimna manusia lewat
meniru. Kisah tentang Qabil yang dapat mengetahui bagaimana menguburkan mayat
saudaranya Habil yang telah dibunuhnya. Yakni diajarkan oleh Allah dari meniru
seekor gagak yang menggali-gali tanah guna menguburkan bangkai seekor gagak
yang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:
y]yèt7sù ª!$# $\/#{äî ß]ysö7t Îû ÇÚöF{$# ¼çmtÎãÏ9 y#øx. ͺuqã nouäöqy ÏmÅzr& 4 tA$s% #ÓtLn=÷uq»t ßN÷yftãr& ÷br& tbqä.r& @÷WÏB #x»yd É>#{äóø9$# yͺuré'sù nouäöqy ÓÅr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBÏ»¨Y9$# ÇÌÊÈ
“Kemudian Allah menyuruh seekor
burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil)
bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai
celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku
dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang
diantara orang-orang yang menyesal”. (QS. al-Maidah: 31).
Kecendrungan manusia untuk meniru belajar lewat peniruan,
menyebabkan ketauladanan menjadi sangat penting artinya dalam proses belajar
mengajar. Rasulullah SAW dalam hal ini tentu merupakan seorang yang menjadi
suri tauladan yang utama bagi umat manusia.
Edi Suardi (1966) menyebutka bahwa ketauladanan itu ada
dua macam, yaitu : (1) Sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh anak
didik. (2) Berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang akan kita tanamkan
pada para anak didik sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi anak didik.[10]
6.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka dibutuhkan
pembiasaan-pembiasaan.
Dalam membelajarkan aqidah akhlak pembiasaan itu
merupakan hal yang sangat penting karena banya kita lihat orang berbuat dan bertingkah
laku hanya kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup kita akan berjalan lambat
sekali sebab sebelum melakukan sesuatu kita harus memikirkan telebih dahulu apa
yang akan kita lakukan.
Rasulullah SAW sendiri telah memerintahkan kepada para
pendidik agar mereka menyuruh anak-anak mereka mengerjakan shalat tatkala
berumur tujuh tahun. Hal ini sesuai dengan sabda beliau yang artinya:
“Suruhlah
anak-anakmu menegerjakan shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun, dan
pukullah mereka jika enggan mengerjakan kalau mereka sudah berumur sepuluh
tahun, dan pisahkan anatara mereka ketika merekatidur”. (HR. Muslim).
7.
Evaluasi yang baik.
Sasaran evaluasi tidak bertujuan mengevaluasi anak didik
saja, tetapi juga bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana ia
bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam. Evaluasi ini ditekankan bukan hanya pada IQ (asfek kognitif) saja yang
dikuasai oleh peserta didik, akan tetapi mencakup penilaian terhadap
keterampilan (skill), keagamman (spiritual), perbuatan dan perubahan
sikap (tingkah laku) yang menjadi sasaran setelah proses kegiatan pembelajaran
serta pengamalan (aplikasi) ilmu yang
diperolehnya setelah proses kegiatan pembelajaran. Sehingga hasil akhir dari
evaluasi yang ditekankan oleh pendidikan agama Islam adalah keberhasilan dalam
IQ (kognitif), keberhasilan dalm
emosi (tingkah kaku), keberhasilan dalam aspek keagamaan (spiritual) serta keberhasila dalam mengamalkan ilmu (aplikasi).
Oleh karena itu evaluasi pendidikan islam terutama dalam
membelajarkan aqidah akhlak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:[11]
a.
Evaluasi terhadap diri sendiri.
Seorang
muslim termasuk guru dan anak didik yang sadar dan baik adalah mereka yang
sering mengevaluasi diri sendiri (intropeksi)
baik mengenai kelebihan yang harus dipertahankan maupun kekurangan dan
kelemahan yang harus dibenahi, karena evaluasi diri sendiri bersifat lebih
obyektif.
b.
Evaluasi kegiatan anak didik
Evaluasi
ini harus disertai niat “amar ma’ruf nahi
munkar” yang bertujuan memperbaiki (ishlah)
bagi tindakan orang lain serta untuk terlaksananya suatu tujuan pendidikan
Islami.
8.
Proses belajar mengajar akan lebih baik dan berhasil
apabila diawali dan diakhiri dengan do’a.
Do’a merupakan penyejuk dan penawar hati yang duka,
melepaskan belenggu derita yang dialami manusia selama hidupnya. Berdo’a adalah
ibadah yang khas yang menghubunkan hati dan pikirannmanusia dengan Tuhannya,
yang mungkin dilakukan diawal, sewaktu atau sesudah suatu keinginan atau usaha
dilaksanakan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan kepada umat muslim untuk
berdo’a dalam setiap kegiatan. Anjuran tersebut terdapat di dalam al-qur’an
yang berbunyi:
tA$s%ur ãNà6/u þÎTqãã÷$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) úïÏ%©!$# tbrçÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAy$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ úïÌÅz#y ÇÏÉÈ
“Dan Tuhanmu
berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".(QS. al-Mu’min: 60).
Syari’at Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang
kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus didirikan melalui proses pendidikan,
karena pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja tetapi juga praktis.
Dalam pendidikan Islam, proses belajar mengajar akan baik dan berhasil apabila
diawali dan diakhiri dengan do’a. Do’a bukan sekedar permohonan memperoleh
kebaikan dunia saja, akan tetapi do’a lebih bertujuan untuk menetapkan
langkah-langkah dalam upaya meraih kebaika yang dimaksud, karena do’a
mengandung arti permohonan yang diertai usaha. Jika dalam proses belajar
mengajar selalu diawali dan diakhiri dengan do’a, bukan hanya ilmu saja yang
didapa, melainkan kemanfaatan dan keberkahan dari ilmu tersebut aka diperoleh.
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
wur äíôs? `ÏB Èbrß «!$# $tB w y7ãèxÿZt wur x8ÛØt ( bÎ*sù |Mù=yèsù y7¯RÎ*sù #]Î) z`ÏiB tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊÉÏÈ
“Dan janganlah kamu menyembah
(berdo’a) apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat
kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka
Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim".(QS.
Yunus: 106).
Disamping itu juga dengan berdo’a berarti
mengajarkan para peserta didik unntuk bersyukur kepada Allah SWT atas semua
nikmat yang telah dianugrahkan kepada kita semua agar nikmat dan ilmu yang
telah didapat dan dipelajarai ditambah oleh Allah SWT sebagaimana janji Allah
dalam al-Qur’an yang berbunyi:
øÎ)ur c©r's? öNä3/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyÎV{ ( ûÈõs9ur ÷Länöxÿ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓÏt±s9 ÇÐÈ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih". (QS. Ibrahim: 7).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami
bahwa do’a merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses belajar mengajar.
Dengan do’a, ilmu yang diperoleh akan bermanfaat, dan dengan do’a pula kita
telah menunjukkan bentukkesdaran kita bahwa segala sesuatu dibawah
kekuasaannya, sekaligus merupakan bukti perwujudan rasa syukur kepada Allah
SWT.
B.
METODE BERBASIS AL-QUR’AN DAN HADITS DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK.
Banyak metode yang dapat
digunakan dalam pembelajaran agama Islam, yang hampir tidak berbeda jauh dengan
metode-metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran mata pelajaran lain.
Namun yang lebih spesisif dalam pembelajaran agam Islam terutama pembelajaran
aqidah akhlah menurut Abdurrahman Saleh (1969) meliputi; metode ceramah, tanya
jawab, diskusi, demonstrasi, sosiodrama, dan pemberian tugas.[12]
Keaneka ragaman metode ini
mengakibatkan mengakibatkan guru harus memahami proses belajar mengajar dan
prinsip-prinsip dasar dalam metode pendidikan Islam yang meliputi: prinsip
kesesuaian dengan psikologi anak, menjaga tujuan pelajaran, memelihara tahap
kematangan, dan partisispasi praktikal.[13]
Menurut Sadali dkk (1997),
metode yang dapat digunakan dalam
pembelajaran agama Islam, yaitu: metode diakronis, sinkronis-analitis,
pemecahan masalah, empiris dan aneka sumber.[14]
1.
Metode diakronis.
Metode
diakronis adalah suatu metode mengajar agama Islam yang menonjolkan asfek
sejarahnya. Metode ini memberikan kemungkinan kepada peserta didik untuk
mengadakan studi perbandingan (komparatif) tentang berbagai hasil penemuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Peserta didik juga dapat mengadakan studi
tentang intraksi tentang ilmu pengetahuan agama dan disiplin ilmu lain sehingga
tampak relevansi, hubungan sebab-akibat atau kesatuan integralnya. Lebih
lanjut, peserta didik juga dapat menelaah sejarah kejadian dan lahirnya setiap
bagian, komponen, dan sistem agama Islam.
2.
Metode Sinkronis-analitis
Metode
sinkronis-analitis adalah sebuah metode pendidikan agama Islam yang memberi
kemampuan analitis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan, mental
intelek. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi pelaksanaan atau
aplikasi praktis.
3.
Metode Pemecahan Masalah.
Metode
pemecahan masalah merupakan latihan untuk para peserta didik dengan
menghaadapkannya pada berbagai masalah suatu cabang ilmu agama dengan
alternatif pemecahannya.
4.
Metode Empiris.
Metode
empiris adalah suatu cara mengajar yang memungkinkan peserta didik untuk
mempelajari agama melalui proses realisasi dan aktualiasi tentang norma-norma
dan kaidah agama melalui proses aplikasi yang menimbulkan suatu reaksi sosial.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kita simpulkan
bahawa strategi dan metode yang berbasis al-Qur’an dan Sunnah mutlak diperlukan
dalam proses belajar mengajar terutama dalam pembelajaran aqidah akhlak di
sekolah dasar atau madrasah, karena tanpa mengasai mengguanakan strategi
ataupun metode yang sesuai dengan materi pembelajaran maka bisa dikatakan tidak
mungkin tujuan pembelajaran tersebut bisa dicapai.
Adapaun strategi yang berbasi al-Qur’an dan Sunnah yang
dapat digunakan antara lain: proses belajar mengajar dilandasi dengan kewajiban
yang dikaitkan dengan niat karena Allah SWT, konsep belajar mengajar harus
dilandasi dengan niat ibadah, di dalam proses belajar mengajar harus saling memahami
posisi guru sebagai guru dan murid sebagai murid, harus menciptakan komunikasi
yang seimbang, komunikasi yang jernih, dan komunikasi yang transparan, mendidik
dengan ketauladanan yang baik, untuk memperoleh hasil yang maksimal maka
dibutuhkan pembiasaan-pembiasaan, evaluasi yan baik, dan proses belajar
mengajar akan baik dan berhasil apabila diawali dan diakhiri dengan do’a.
Sedangkan metode yang dapat dipterapkan antara lain: metode diakronis, sinkronis-analitis, pemecahan masalah,
empiris dan aneka sumber.
B.
Saran
Saran yang dapat kami sampaikan kepada semua pendidik dalam pembahasan
masalah ini adalah agar selalu memperhatikan semua jenis dan bentuk strategi
maupun metode yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran terutama dalam
membelajarkan aqidah dan akhlah di jenjang sekolah dasar agar apa yang menjadi
tujuan pembelajaran tersebut bisa tercapai , yang selanjutnya diharapkan mampu
meningkatkan kualitas pendidikan.
Bagi pemerintah yang berwenang dalam bidang ini kita harapkan bisa
memberikan kontribusi sebagaimana mestinya, misalnya memberikan sarana dan
prasarana sebagai wahana unuk mengembangkan dan meningkatkan strategi dan metode yang berbasis al-Qur’an dan Sunnah
guna menunjang terciptanya pembinaan akhlak dan moral para peserta didik
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim.
Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno. 2009. Strategi Belajar Mengajar; Strategi Mewujudkan
Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum &KonsepIslami. Bandung:
PT Refika Aditama.
Susanto,
Akhmad. 2013. Teori Belajar Dan
Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenda Media Group.
Nata,
H. Abuddin.2013. Sejarah Pendidikan Islam
Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali Pers.
Syah, Muhibbin.
2009. Psikologi Belajar. Jakarta:
Rajawali Pers.
Yusuf, H. Ali
Anwar. 2006. Islam dan Sains Modern:
Sentuhan Islam Terhadap Berbagai Disiplin Ilmu. Bandung: CV. Pustaka Setia.
[1] Fathurrohman, Pupuh &
M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar
Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika
Aditama. Hlm. 127.
[2] Fathurrohman, Pupuh &
M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar
Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika
Aditama. Hlm. 128.
[3] Syah, Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers. Hlmnn. 139.
[4] Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah
Dasar. Jakarta: Kencana Prenda Media Group. Hlmn.278-279.
[5] Fathurrohman, Pupuh &
M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar
Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika
Aditama. Hlm. 129.
[6] Fathurrohman, Pupuh &
M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar
Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika
Aditama. Hlm. 130-131.
[7] Nata, H. Abuddin.2013. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik
dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali Pers. Hlmn.20.
[8] Fathurrohman, Pupuh &
M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar
Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika
Aditama. Hlm. 131.
[9] Yusuf, H. Ali Anwar.
2006. Islam dan Sains Modern: Sentuhan
Islam Terhadap Berbagai Disiplin Ilmu. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hlmn. 192.
[10] Fathurrohman, Pupuh &
M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar
Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika
Aditama. Hlm. 140.
[11] Fathurrohman, Pupuh &
M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar
Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika
Aditama. Hlm. 143.
[12] Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah
Dasar. Jakarta: Kencana Prenda Media Group. Hlmn.281.
[13] Nata, H. Abuddin.2013. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik
dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali Pers. Hlmn.19.
[14] Susanto, Akmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah
Dasar. Jakarta: Kencana Prenda Media Group. Hlmn.282.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar