Selasa, 24 Juni 2014

STRATEGI DAN METODE BERBASIS AL-QUR’AN DAN SUNNAH DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pendidikan agama Islam, terutama pendidikan aqidah dan akhalak merupakan sarana penting untuk meningkatkan etika, moral dan SDM manisia secara umum dalam menjamin keberhasilan tegaknya syari’at Islam dan keberlangsungan pembangunan suatu bangsa. Namun sayangnya, berdasarkan pengamatan di lapangan banyak ditemukan pelaksanaan pembelajaran masih kurang variatif, proses pembelajaran memiliki kecendrungan pada metode tertentu (konvensional) dan tidak memerhatikan tingkat pemahaman siswa terhadap informasi yang disampaikan. Siswa kurang aktof dalam proses belajar, siswa lebih banyak mendengar dan menulis yang menyebabkan isi pelajaran sebagai hafalan sehingga siswa tidak memahami konsep yang sebenarnya. Sejauh ini  pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih fokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan.
Oleh karena itu, disini kami berusaha menyajikan berbagai strategi dan metode yang berbasis al-Qur’an dan Hadits dalam pembelajaran aqidah akhlak di sekolah dasar atau madrasah yang mungkin dapat dijadikan rujukan dalam mencari terobosan baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta mencapai tujuan bersamama.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Strategi yang  bagaimanakah yang dapat digunakan dalam membelajarkan aqidah akhlak di MI  ?
2.      Apa metode-metode yang dapat diterapkan dalam membelajarkan aqidah akhlak di MI ?
C.     TUJUAN
1.      Menjelaskan bentuk-bentuk strategi yang dapat digunakan dalam membelajarkan aqidah akhlak di MI .
2.      Mendeskripsikan macam-macam metode yang dapat diterapkan dalam membelajarkan aqidah akhlak di MI .
BAB II
PEMBAHASAN
STRATEGI DAN METODE BERBASIS AL-QUR’AN DAN SUNNAH DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK DI MI
  1. STRATEGI BERBASIS AL-QUR’AN DAN SUNNAH DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK DI MI.
Strategi belajar mengajar menurut konsep Islami, pada dasarnya adalah sebagai berikut:[1]
1.      Proses belajar mengajar dilandasi dengan kewajiban yang dikaitkan dengan niat karena Allah SWT.
Niat amat berperan dalam memberi makna  dan hukum bagi pelaksanaan suatu amal atau perbuatan. Ia adalah faktor penentu bagi menetapkan suatu perbuatan baik, apakah perbuatan tersebut termasuk ibadah atau tidak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Segala perbuatan akan sah menurut niatnya. Dan bagi setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhari & Muslim).
Begitu pula firma Allah SWT dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah: 5).
Kewajiban guru dalam menilai tujuan dan melaksnakan tugas mengajarkan ilmu adalah karena niat untuk mendekatkan diri kepada Allah semata-mata. Tugas mengajarkan dan mengamalkan ilmu dalam proses belalajar mengajar adalah kewajiban pendidik, sedangkan peserta didik mempunyai kewajiban menuntut ilmu dari pendidik tersebut. Hal ini sudah merupakan fitrah manusia yang terjadi dalam proses belajar mengajar, dimana kedua-duanya saling berintraksi untuk mencapai tujuan. Allah SWT memberikan potensi pada diri manisia berupa fitrah yang melekat pada dirinya, panca indra serta daya fikir (akal) untuk mendapatkan bermacam-macam ilmu melalui proses pembelajaran.[2] Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. an-Nahl: 78).
Dengan dilandasi oleh niat yang kuat karena Allah dalam mempelajari agama,  secara otomatis siswa akan menggunakan pendekatan achieving dalam belajarnya yang berciri khusus yang disebut ego-enhancement yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi kekuatan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya.[3]
2.      Konsep belajar mengajar harus dilandasi dengan niat ibadah.
Bagian paling penting dalam pendidikan agama adalah memdidik murid agar beragama, memahami agama (knowling), dan terampil dalam melaksanakan agama (doing). Dalam pembelajaran bidang agama ini memerlukan pendekatan-pendekatan naql, aqal dan qalbu. Selain itu juga, diperlukan sarana yang memadai sehingga mendukung  terwujudnya pembelajaran yang sesuai dengan karakter pendidikan agama.[4]
Landasan ibadah dalam proses belajar mengajar merupakan amal saleh, karena melalui peribadahan dapat banyak hal yang diperoleh oleh seorang muslim (guru dan murid) yang kepentingannya bukan hanya mencakup individual, melainkan besifat luas dan universal serta tidak membuat kesenjangan antara ilmu agama dengan ilmu umum, akan tetapi semua ilmu pengetahuan berasal dan harus sesuai dengan nilai uluhiyah.
Allah SWT menciptakan manusia bukannya tanpa tujuan, akan tetapi Dia menciptakan manusia sesungguhnya dengan tujuan tertentu, yaitu untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya. Tujuan tersebut dijelaskan melalui firman-Nyadalam al-Qur’an, yang berbunyi:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS.adz-Dzariyat: 56).
      Abdurrahman An-Nahlawi (1995) mengemukkakan  bahwa hikmah pendidikan disertai ibadah adala sebagia berikut:[5]
a.       Dalam konsep Islam, melalui ibadah manusia diajari untuk memiliki intensitas kesadaran berfikir.
b.      Dimanapun seorang muslim berada, melalui kegiatan yang ditujukansemata-mata untuk ibadah kepada Allah SWT, dia akan selalu merasa terikat oleh ikatatan yang berkesadaran, sistematis, kuat, serta didasarkan atas perasaan jujur dan kepercayaan diri.
c.       Ibadah yang terus-menerus dilakukan dalam kelompok yang padu, di bawah panji Allah yang satu, dan semuanya bermunajat kepada-Nya akan melahirkan rasa kebersamaan sehingga kita terdorong untuk saling mengenal, saling menasehati atau bermusyawarah untuk mencari ridho Allah SWT.
d.      Dalam Islam ibadah dapat mendidik jiwa seoramg muslim untuk mersakan kebanggaan dan kemuliaan terhadap Alla SWT.
e.       Melalui ibadah, seorang muslimpun akan terdidik untuk memiliki kemampuan dalam melakukan berbagai keutamaan secara konstan dan mutlak.
f.       Pendidikan yang berdasarkan ibadah dapat membekali manusia dengan muatan kekuatan yang intensitasnya lebih tinggi dan abadi karena semuanya bersumber dari kekuatan Allah, kepercayaan kepada Allah, optimisme yang bersumber dari pertolongan Allah dan pahala surga, serta kesadaran dan cahaya yang bersumber dari Allah SWT.
g.      Mendidik seseorang dengan ibadah akan memperbaharui jiwa yang bukan hanya karena di dalamnya ada muatan cahaya, kekuatan, perasaan dan harapan, melainkan karena ibadah seorang muslim merupakan ruang untuk megekspresikan tobatnya.
Pupuh Fathurrohman (2000) menegemukakan out put pendidikan disertai ibadah adalah sebagai berikut:[6]
a.       Religius Skill People, yaitu insan yang akan menjadi tenaga-tenaga terampil sekaligus mempunyai iman yang teguh dan utuh. Religiusitasnya diharafkan terrefleksi dalm sikap dan perilaku, dan akan mengisi kebutuhan tenaga di berbagai sektor di tengah-tengah masyarakat global.
b.      Religius Community Leader, yaitu insan yang akan menjadi penggerak dinamika transformasi sosio-kultural. Sekaligus menjadi penjaga gawang terhadap akses-akses negatif pembangunan masyrakat dan mampu pula membawakan aspirasi masyarakat, terutama golongan the silent majority, serta melakukan kontrol atau pengendalian sosial (social control dan reformer).
c.       Religius Intellectual, yaitu yaitu insan yang mempunyai integritas, istiqomah, cakap melakukan analisis ilmiah serta concern terhadap masalah-masalah sosial dan budaya.

3.      Di dalam proses belajar mengajar harus saling memahami posisi, guru sebagai guru dan murid sebagai murid.
Dari semua pengertian pendidikan terlihat penekanan pendidikan Islam pada “bimbingan” bukan pengajaran yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksanaan pendidikan. Disini seorang guru lebih berfungsi sebagai “fasilitator” atau penunjuk jalan kearah penggalian potensi anak didik. Dengan demkian, guru bukanlah segala-galanya, sehingga cendrung menganggap anak didik bukan apa-apa, manusia yang masih kosong yang perlu diisi.[7]
Pendidik hakikatnya adalah bapak rohani (spiritual father) bagi anak didiknya, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, sekaligus meluruskannya. Oleh karena itu guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua aak didiknya. Jadi hubungan psikologis antara guru dan anak didiknya seperti hubungan naluriah anatara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif  ke dalam proses pendidikan dan pengajaran.[8]

4.      Harus menciptakan komunikasi yang seimbang, komunikasi yang jernih dan komunikasi yang transparan.
Komunikasi adalah inti dari proses belajar mengajar. Untuk mencapai intraksi belajar mengajar perlu adanya  komunikasi yang jelas antara guru dan murid yang akan mewujudkan dua kegiatan efektif yaitu: kegiatan mengajar (usaha guru) dan kegiatan belajar (tugas siswa) yang berdaya guna dalam mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebagai seorang pendidik dituntuk untuk memiliki kompetensi dan keterampilan dalam hal ini.
Untuk mewujudkan pendidik yang memiliki kompetensi kita dapat mengacu pada tuntunan Rasulullah SAW, karena beliau satu-satunya pendidik yang paling berhasil dalam rentang waktu yang begitu singkat. Keberhasilan Rasulullah SAW sebagai pendidik didahului oleh bekal kompetensi yang berkualitas unggul dan kepeduliannya dalam paham “iqra’bismirabbik”. Selanjutnya beliau mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman, amal saleh, berjuang dan bekerja sama menegakkan kebenaran serta mamapu bekerja sama dalam kesabaran.
Jadi jelas bahwa keberhasilan suatu proses pembelajaran didukung juga oleh komunikasi yang baik dan benar, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ôÅÁø%$#ur Îû šÍô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎŽÏJptø:$# ÇÊÒÈ
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.(QS. Luqman: 19).
      Ayat al-Qur’an di atas menyebutkan bahwa komunikasi hendaknya menggunakan bahasa dan kata-kata yang tepat dan disesuaikan dengan pemahaman dan pengalaman para peserta didik kita.  Dari segi psikologi, latar belakang pengalaman orang yang diajak bicara itu disebut apersepsi atau fieled experience. Efektivitas komunikasi ini disebutkan pula dalam hadis Nabi dengan istilah biqadri ‘uqulihim (atas dasar kemampuan akalnya):  khathibunnas biqadri ‘uqulihim (ajaklah manusia itu bicara, sesuai dengan kemapuan akalnya).[9]

5.      Mendidik dengan ketauladanan yang baik.
Al-Qur’an telah memberikan contoh bagaimna manusia lewat meniru. Kisah tentang Qabil yang dapat mengetahui bagaimana menguburkan mayat saudaranya Habil yang telah dibunuhnya. Yakni diajarkan oleh Allah dari meniru seekor gagak yang menggali-gali tanah guna menguburkan bangkai seekor gagak yang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:
y]yèt7sù ª!$# $\/#{äî ß]ysö7tƒ Îû ÇÚöF{$# ¼çmtƒÎŽãÏ9 y#øx. ͺuqムnouäöqy ÏmÅzr& 4 tA$s% #ÓtLn=÷ƒuq»tƒ ßN÷yftãr& ÷br& tbqä.r& Ÿ@÷WÏB #x»yd É>#{äóø9$# yͺuré'sù nouäöqy ÓŁr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBÏ»¨Y9$# ÇÌÊÈ
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (QS. al-Maidah: 31).
Kecendrungan manusia untuk meniru belajar lewat peniruan, menyebabkan ketauladanan menjadi sangat penting artinya dalam proses belajar mengajar. Rasulullah SAW dalam hal ini tentu merupakan seorang yang menjadi suri tauladan yang utama bagi umat manusia.
Edi Suardi (1966) menyebutka bahwa ketauladanan itu ada dua macam, yaitu : (1) Sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh anak didik. (2) Berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang akan kita tanamkan pada para anak didik sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi anak didik.[10]

6.      Untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka dibutuhkan pembiasaan-pembiasaan.
Dalam membelajarkan aqidah akhlak pembiasaan itu merupakan hal yang sangat penting karena banya kita lihat orang berbuat dan bertingkah laku hanya kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup kita akan berjalan lambat sekali sebab sebelum melakukan sesuatu kita harus memikirkan telebih dahulu apa yang akan kita lakukan.
Rasulullah SAW sendiri telah memerintahkan kepada para pendidik agar mereka menyuruh anak-anak mereka mengerjakan shalat tatkala berumur tujuh tahun. Hal ini sesuai dengan sabda beliau yang artinya:
“Suruhlah anak-anakmu menegerjakan shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika enggan mengerjakan kalau mereka sudah berumur sepuluh tahun, dan pisahkan anatara mereka ketika merekatidur”. (HR. Muslim).



7.      Evaluasi yang baik.
Sasaran evaluasi tidak bertujuan mengevaluasi anak didik saja, tetapi juga bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana ia bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Evaluasi ini ditekankan bukan hanya pada IQ (asfek kognitif) saja yang dikuasai oleh peserta didik, akan tetapi mencakup penilaian terhadap keterampilan (skill), keagamman (spiritual), perbuatan dan perubahan sikap (tingkah laku) yang menjadi sasaran setelah proses kegiatan pembelajaran serta pengamalan (aplikasi) ilmu yang diperolehnya setelah proses kegiatan pembelajaran. Sehingga hasil akhir dari evaluasi yang ditekankan oleh pendidikan agama Islam adalah keberhasilan dalam IQ (kognitif), keberhasilan dalm emosi (tingkah kaku), keberhasilan dalam aspek keagamaan (spiritual) serta keberhasila dalam mengamalkan ilmu (aplikasi).
Oleh karena itu evaluasi pendidikan islam terutama dalam membelajarkan aqidah akhlak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:[11]
a.       Evaluasi terhadap diri sendiri.
Seorang muslim termasuk guru dan anak didik yang sadar dan baik adalah mereka yang sering mengevaluasi diri sendiri (intropeksi) baik mengenai kelebihan yang harus dipertahankan maupun kekurangan dan kelemahan yang harus dibenahi, karena evaluasi diri sendiri bersifat lebih obyektif.
b.      Evaluasi kegiatan anak didik
Evaluasi ini harus disertai niat “amar ma’ruf nahi munkar” yang bertujuan memperbaiki (ishlah) bagi tindakan orang lain serta untuk terlaksananya suatu tujuan pendidikan Islami.

8.      Proses belajar mengajar akan lebih baik dan berhasil apabila diawali dan diakhiri dengan do’a.
Do’a merupakan penyejuk dan penawar hati yang duka, melepaskan belenggu derita yang dialami manusia selama hidupnya. Berdo’a adalah ibadah yang khas yang menghubunkan hati dan pikirannmanusia dengan Tuhannya, yang mungkin dilakukan diawal, sewaktu atau sesudah suatu keinginan atau usaha dilaksanakan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan kepada umat muslim untuk berdo’a dalam setiap kegiatan. Anjuran tersebut terdapat di dalam al-qur’an yang berbunyi:
tA$s%ur ãNà6š/u þÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ ÇÏÉÈ  
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".(QS. al-Mu’min: 60).
Syari’at Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus didirikan melalui proses pendidikan, karena pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja tetapi juga praktis. Dalam pendidikan Islam, proses belajar mengajar akan baik dan berhasil apabila diawali dan diakhiri dengan do’a. Do’a bukan sekedar permohonan memperoleh kebaikan dunia saja, akan tetapi do’a lebih bertujuan untuk menetapkan langkah-langkah dalam upaya meraih kebaika yang dimaksud, karena do’a mengandung arti permohonan yang diertai usaha. Jika dalam proses belajar mengajar selalu diawali dan diakhiri dengan do’a, bukan hanya ilmu saja yang didapa, melainkan kemanfaatan dan keberkahan dari ilmu tersebut aka diperoleh.
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
Ÿwur äíôs? `ÏB Èbrߊ «!$# $tB Ÿw y7ãèxÿZtƒ Ÿwur x8ŽÛØtƒ ( bÎ*sù |Mù=yèsù y7¯RÎ*sù #]ŒÎ) z`ÏiB tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊÉÏÈ
“Dan janganlah kamu menyembah (berdo’a) apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim".(QS. Yunus: 106).
      Disamping itu juga dengan berdo’a berarti mengajarkan para peserta didik unntuk bersyukur kepada Allah SWT atas semua nikmat yang telah dianugrahkan kepada kita semua agar nikmat dan ilmu yang telah didapat dan dipelajarai ditambah oleh Allah SWT sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi:
øŒÎ)ur šc©Œr's? öNä3š/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyƒÎV{ ( ûÈõs9ur ÷LänöxÿŸ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓƒÏt±s9 ÇÐÈ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim: 7).
      Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa do’a merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Dengan do’a, ilmu yang diperoleh akan bermanfaat, dan dengan do’a pula kita telah menunjukkan bentukkesdaran kita bahwa segala sesuatu dibawah kekuasaannya, sekaligus merupakan bukti perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT.

B.     METODE BERBASIS AL-QUR’AN DAN HADITS DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK.
Banyak metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran agama Islam, yang hampir tidak berbeda jauh dengan metode-metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran mata pelajaran lain. Namun yang lebih spesisif dalam pembelajaran agam Islam terutama pembelajaran aqidah akhlah menurut Abdurrahman Saleh (1969) meliputi; metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, sosiodrama, dan pemberian tugas.[12]
Keaneka ragaman metode ini mengakibatkan mengakibatkan guru harus memahami proses belajar mengajar dan prinsip-prinsip dasar dalam metode pendidikan Islam yang meliputi: prinsip kesesuaian dengan psikologi anak, menjaga tujuan pelajaran, memelihara tahap kematangan, dan partisispasi praktikal.[13]
Menurut Sadali dkk (1997), metode yang dapat digunakan  dalam pembelajaran agama Islam, yaitu: metode diakronis, sinkronis-analitis, pemecahan masalah, empiris dan aneka sumber.[14]
1.      Metode diakronis.
Metode diakronis adalah suatu metode mengajar agama Islam yang menonjolkan asfek sejarahnya. Metode ini memberikan kemungkinan kepada peserta didik untuk mengadakan studi perbandingan (komparatif) tentang berbagai hasil penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Peserta didik juga dapat mengadakan studi tentang intraksi tentang ilmu pengetahuan agama dan disiplin ilmu lain sehingga tampak relevansi, hubungan sebab-akibat atau kesatuan integralnya. Lebih lanjut, peserta didik juga dapat menelaah sejarah kejadian dan lahirnya setiap bagian, komponen, dan sistem agama Islam.
2.      Metode Sinkronis-analitis
Metode sinkronis-analitis adalah sebuah metode pendidikan agama Islam yang memberi kemampuan analitis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan, mental intelek. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi pelaksanaan atau aplikasi praktis.
3.      Metode Pemecahan Masalah.
Metode pemecahan masalah merupakan latihan untuk para peserta didik dengan menghaadapkannya pada berbagai masalah suatu cabang ilmu agama dengan alternatif pemecahannya.
4.      Metode Empiris.
Metode empiris adalah suatu cara mengajar yang memungkinkan peserta didik untuk mempelajari agama melalui proses realisasi dan aktualiasi tentang norma-norma dan kaidah agama melalui proses aplikasi yang menimbulkan suatu reaksi sosial.

BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahawa strategi dan metode yang berbasis al-Qur’an dan Sunnah mutlak diperlukan dalam proses belajar mengajar terutama dalam pembelajaran aqidah akhlak di sekolah dasar atau madrasah, karena tanpa mengasai mengguanakan strategi ataupun metode yang sesuai dengan materi pembelajaran maka bisa dikatakan tidak mungkin tujuan pembelajaran tersebut bisa dicapai.
Adapaun strategi yang berbasi al-Qur’an dan Sunnah yang dapat digunakan antara lain: proses belajar mengajar dilandasi dengan kewajiban yang dikaitkan dengan niat karena Allah SWT, konsep belajar mengajar harus dilandasi dengan niat ibadah, di dalam proses belajar mengajar harus saling memahami posisi guru sebagai guru dan murid sebagai murid, harus menciptakan komunikasi yang seimbang, komunikasi yang jernih, dan komunikasi yang transparan, mendidik dengan ketauladanan yang baik, untuk memperoleh hasil yang maksimal maka dibutuhkan pembiasaan-pembiasaan, evaluasi yan baik, dan proses belajar mengajar akan baik dan berhasil apabila diawali dan diakhiri dengan do’a.
Sedangkan metode yang dapat dipterapkan antara lain: metode diakronis, sinkronis-analitis, pemecahan masalah, empiris dan aneka sumber.
B.   Saran
Saran yang dapat kami sampaikan kepada semua pendidik dalam pembahasan masalah ini adalah agar selalu memperhatikan semua jenis dan bentuk strategi maupun metode yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran terutama dalam membelajarkan aqidah dan akhlah di jenjang sekolah dasar agar apa yang menjadi tujuan pembelajaran tersebut bisa tercapai , yang selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan.
Bagi pemerintah yang berwenang dalam bidang ini kita harapkan bisa memberikan kontribusi sebagaimana mestinya, misalnya memberikan sarana dan prasarana sebagai wahana unuk mengembangkan dan meningkatkan strategi dan  metode yang berbasis al-Qur’an dan Sunnah guna menunjang terciptanya pembinaan akhlak dan moral para peserta didik
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim.
Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno. 2009. Strategi Belajar Mengajar; Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum &KonsepIslami. Bandung: PT Refika Aditama.
Susanto, Akhmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenda Media Group.
Nata, H. Abuddin.2013. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali Pers.
Syah, Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Yusuf, H. Ali Anwar. 2006. Islam dan Sains Modern: Sentuhan Islam Terhadap Berbagai Disiplin Ilmu. Bandung: CV. Pustaka Setia.
           


[1] Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 127.
[2] Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 128.
[3] Syah, Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers. Hlmnn. 139.
[4] Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenda Media Group. Hlmn.278-279.
[5] Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 129.
[6] Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 130-131.

[7] Nata, H. Abuddin.2013. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali Pers. Hlmn.20.
[8] Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 131.
[9] Yusuf, H. Ali Anwar. 2006. Islam dan Sains Modern: Sentuhan Islam Terhadap Berbagai Disiplin Ilmu. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hlmn. 192.
[10] Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 140.
[11] Fathurrohman, Pupuh & M. Sobry Sutikno, 2011. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 143.
[12] Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenda Media Group. Hlmn.281.
[13] Nata, H. Abuddin.2013. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali Pers. Hlmn.19.
[14] Susanto, Akmad. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenda Media Group. Hlmn.282.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar