Rabu, 04 Juni 2014

EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM



KATA PENGANTAR
                       
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan rahmat dan petunjukNya             sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam tidak lupa untuk selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
            Makalah ini ditulis untuk menyelesaikan tugas matakuliah “Strategi Pembelajaran”. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada pembaca yang telah berkenan untuk membaca makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna sehingga penulis sangat             mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.

















DAFTAR ISI


HALAMAN SAMPUL                                                  
KATA PENGATAR................................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2         
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................ 3
A.    Latar belakang.......................................................................................... 3
B.     Rumusan masalah..................................................................................... 3
C.     Tujuan Pembahasan.................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................4
A.    Konsep Epistimologi...................................................................................... 4
B.     Epistimologi Pendidikan Islam...................................................................... 4         
C.     Landasan Epistimologi Pemikiran Pendidikan Islam..................................... 5
D.    Ciri Epistimologi Pendidikan Islam............................................................... 6
E.     Implikasi Epistimologi Islam dalam Pendidikan............................................ 7
F.      Persoalan Kebenaran (Truth) dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam..... 7
G.    Problematika Epistimologi Pendidikan Islam................................................ 8
H.    Klasifikasi Ilmu (Bukan Dikotomisasi) Ilmu dalam Islam............................. 8
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 9
A.    Kesimpulan..................................................................................................... 9
B.     Saran.............................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 10       









BAB I PENDAHULUAN


            A. Latar Belakang
Setiap ilmu pengetahuan seharusnya diinspirasi dari haril kerja epistemologinya. Pendidikan Islam harus dibangun dan dikembangkan berdasarkan epistemologi untuk menciptakan pendidikan Islam yang bermutu dan berdaya saing tinggi untuk bisa bertahan dan memimpin.
Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan pendidikan Islam bisa efektif dan efisien, bila didasarkan epistemologi pendidikan Islam. Sehingga pengembangan pendidikan Islam secara konseptual maupun secara aplikatif harus dibangun dari epistemologi pendidikan Islam secara  menyeluruh.
Pertanyaan yang dikemukakan dalam epistimologi adalah menyangkut apa yang dimaksud pengetahuan yang benar, apa sumber dan dasarnya, bagaimana cara mengetahui dan sebagainya. Disebabkan kenyataan bahwa studi epistimologis berkaitan dengan pertanyaan mengenai dasar             pencapaian pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta ketepatan berbagai metode mencapai kebenaran yang dapat dipercaya, maka epistimologi dan metafisika menduduki posisi sentral dalam proses pendidikan. Hal ini dikarenakan dunia pendidikan merupakan wahana berlangsungnya proses pewarisan kebudayaan, utamanya berupa ilmu pengetahuan. Kedudukan epistimologi menjadi penting artinya mengingat di dalamnya dikaji hakekat ilmu atau pengetahuan yang menjadi substansi pendidikan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dikemukakan bagaimana konsep epistimologi, pengertian epistemologi pendidikan Islam, landasan epistimologi pemikiran pendidikan Islam, ciri epistemologi pendidikan Islam, Implikasi epistImologi islam dalam pendidikan Islam, Persoalan kebenaran dan implikasinya dalam  pendidikan Islam, Problematika Epistimologi pendidikan Islam, dan klasifikasi ilmu (bukan dikotomisasi) ilmu dalam islam. Hal-hal itulah yang dibahas untuk dijadikan sebagai pertimbangan seberapa jauh epistimologi pendidikan Islam dapat dinyatakan sebagai kebutuhan yang sangat penting dan mendesak.
           
           

B. Rumusan Masalah
            1. Bagaimanakah pengertian epistemologi dan epistimologi pendidikan Islam?
            2. Bagaimanakah landasan epistimologi pemikiran pendidikan Islam?
            3. Bagaimanakah ciri epistemologi dan implikasinya dalam pendidikan Islam?
            4. Bagaimanakah Persoalan kebenaran dan implikasinya dalam  pendidikan Islam?
            5. Bagaimanakah Problematika Epistimologi pendidikan Islam?
            6. Bagaimanakah klasifikasi ilmu (bukan dikotomisasi) ilmu dalam islam?
           
           
C. Tujuan Pembahasan
            1. Untuk mengetahui pengertian epistemologi pendidikan Islam
            2. Untuk mengetahui landasan epistimologi pemikiran pendidikan Islam
            3. Untuk mengetahui ciri epistemologi dan implikasinya dalam pendidikan Islam
            4. Untuk mengetahui Persoalan kebenaran dan implikasinya dalam  pendidikan Islam
            5. Untuk mengetahui Problematika Epistimologi pendidikan Islam
            6. Untuk mengetahui klasifikasi ilmu (bukan dikotomisasi) ilmu dalam islam


















BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Epistimologi
            Secara etimologi, istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani episteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Jadi, epistimologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula ataun sumber pengetahuan.
            Dalam konteks fisafat Barat, ada dua sumber pengetahuan yang dianggap melahirkan ilmu pengetahuan yakni rasio dan pengalaman. Yang menjadikan pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan melahirkan paham empirisme. Sedangkan yang menjadikan rasio sebagai sumber ilmu pengetahuan melahirkan paham rasionalisme. Kedua paham inilah yang menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan modern yaitu metode  sains (scientific methode). Dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge)
            Empirisme berasal dari bahasa yunani yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini, manusia pada awalnya tidak memiliki pengetahuan (blank), sesuatu yang blank ini  selanjutnya diisi  oleh pengalaman manusia. Pengalaman manusia  tersebut adalah hasil kerja indera manusia. Asumsi dasar dari pendapat ini adalah indera menghubungkan manusia dengan hal-hal kongkrit material. Tokoh aliran ini adalah John Locke dan David Hume.
            Namun, pengalaman yang dihasilkan indera sangat terbatas, gunung dari jauh kelihatan mulus, padahal penuh dengan pohon dan tebing yang curam. Begitupun bulan terlihat kecil, padahal bumi ini bias ambruk jika bulan jatuh. Oleh karena itu, pengetahuan inderawi yang merupakan cikal bakal empirisme ini menuai kritikan. Lalu muncullah paham rasionalisme.
            Bagi rasionalisme, akalah adalah gerbang ilmu pengetahuan. Dalam rasionalisme, indera tetap berfungsi dalam membantu kerja akal menemukan kebenaran dari pengetahuan yang diinginkan. Jadi, rasionalime adalah aliran yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Tokohnya adalah Descartes dan Spinioza. Rasionalisme dan empirisme selanjutnya melahirkan  metode ilmiah yaitu kebenaranyang diperoleh melalui pembuktian ilmiah (sistematis, objektif, empirik, dan logis).
            Dalam ajaran islam, di samping indera dan akal, terdapat pula apa yang disebut intuisi dan wahyu. Intuisi ini disebut bashirah mulhamah, sedang ahli psikologis menyebutnya indera ke enam. Intuisi merupakan  pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui prosea penalaran tertentu. Seseorang yang  terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Pengetahuan yang diperoleh melalui indera ke enam ini disebut pula dengan hikmah yang tidak diberikan kepada rangka sembarang orang melainkan kepada orng-orang tertentu melalui proses penyucian jiwa dalam taqarrub kepada Allah SWT.
B. Epistimologi Pendidikan Islam
Ketika manusia lahir, keadaannya suci (fitrah) dan tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun. Kemudian Allah memberinya akal, hati dan indera berupa penglihatan dan pendengaran sebagai alat atau media untuk memperoleh pengetahuan.
Seperti penjelasan di atas, akal (rasionalisme) mengkritik empirisme, lalu apakah kritik buat akal?. Ternyata akal juga terbatas (al-aqlu mahduudun). Akal bias mentok, kementokan akal bermula ketika dikaitkan  dengan aspek diluar rasional manusia yaitu supra-rasional. Lebih-lebih dalam ajaran islam bukan hanya berkaitan dengan sesuatu yang bersifat rasional empiris, tetapi juga iirasional/supra rasional . Keyakinan terhadap sesuatu yang supra-rasional di atas memiliki implikasi pada desain epistimologi pendidikan islam. Misalnya keyakinan akan adanya Yang Maha Pencipta yaitu Allah SWT memberikan gambaran bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah zat yang Maha Alim.
Dalam ajaran islam terdapat wilayah yang ma'qul dan gairu ma'qul. Untuk yang ma'qul, akal dan indera manusia biasa berfungsi, tetapi bagi yang tidak  bias dirasionalisasi dan tidak bias dilihat dengan kasat mata, maka aspek iman mulai berfungsi. Dan iman itu ada di dalam hati (Qalbun). Oleh karena itu, secara epistimologis, bias dikatakan bahwa islam menggunakan akal, indera dan hati dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Lalu, mungkinkah hati itu memperoleh pengetahuan?. Menurut Ma'anZiyadah, kalbu mampu memperoleh pengetahuan(al-ma'rifah) melalui daya cita rasa (al-zawqiyyah) Bahkan dalam surat Al-Hajj ayat 46 disebutkan : "Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan hati itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang ada adalah hati yang ada di dalam dada. Q.S. Al-Hajj ayat 46"
C. Landsasan Epistimologi Pemikiran Pendidikan Islam
            Setiap manusia dilahirkan membawa membawa fitrah serta dibekaliberbagai potensi dan kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya.
Fitrah atau potensi tersebut selanjutnya digunakan manusia mulai dari sebatas inderawi (indera zahir), lalu berpikir dengan akal serta pada tingkatan tertentu manusia bias dengan potensi indera bathiniahnnya dan di luar logika.
Ada beberapa hal dalam ajaran islam yang bias dijadikan landasan dalam menguak konsep epistimologi pendidikan islam. Diantaranya adalah :
1.      Awalnya manusia dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun (Allah hanya memberikan kemampuan potensial untuk dijadikan aktual). Hal ini dijelaskan dalam surah  An-Nahl yang berbunyi : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahi sesuatu, dan Dia (Allah) member kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. Q.S An-Nahl ayat 78.
2.      Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah disebutkan. Ma min mauluudin illa yuuladu 'alal fitrah fabawaahu yuhawwidaanihi au yunasshiraanihi au yumajjisaanihi. Menurut Muhaimin, kata fitrah, disamping berarti "suci", fitrah juga berarti potensi dan beberapa arti lain yang merujuk pada potensi dasar manusia. Kata "fitrah" memiliki beragam makna diantaranya : (a) Fitrah berarti suci, (b) Fitrah berarti islam, (c) Fitrah berarti mengakui keEsaan Allah, (d) Fitrah berarti murni, (e) Fitrah berari kopndisi penciptaan manusia yang cenderung menerima kebenaran, (f) Fitrah berarti potensi dasar manusia, (g) Fitrah berarti ketetapan / kejadian asal manusia, (h) Fitrah  berarti tabiat alami dan (i) Fitrah berarti ghorizah/insting.
3.      Ayat pertama turun adalah Al-'Alaq yang diawali dengan kata iqra' yang berarti perintah membaca, menelaah, menyelidiki atau mengeksplorasi. Menurut Quraisy Syihab, wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-qur'qn menghendaki umatnya untuk membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi rabbik, dalam arti bermanfaat bagi kemanusiaan.
4.      Al-Qur'an bukan hanya menjelaskan segala jenis pengetahuan tetapi juga menjelaskan alat untuk mencapai pengetahuan tersebut seperti akal, indera serta hati manusia seperti yang termaktub dalam surat An-Nahl (16:78).
5.      Surat Al-Fatihah diawali oleh pujian mutlak (al-istigraqiyyah dalam al-hamdu) kepada Tuhan sebagai pendidik semesta alam. Tuhan adalah Maha Pendidik bagi semesta alam. Hal ini menunjukkan bahwa Allah lah sumber ilmu pengetahuan.
6.      Allah SWT memiliki 99 nama atau yang dikenal dengan asmaul huisna, salah satunya adalah  yaa 'alim (Maha Mengetahui). Ini juga petunjuk bahwa Allah lah Yang Maha Alim sebagai sumber setiap ilmu yang dimilki manusia.
7.      Potensi inderawi tersebut dibarengi oleh potensi berpikir melalui akal (al-'aqlu) yang Allah anugrahkan kepada manusia sebagai media memperoleh pengetahuan.
Untuk menepis kebingungan tentang sumber dan metode/alat untuk memperoleh pengetahuan terdapat dua kata kunci yang terkadang digunakan secara bergantian dengan makna yang sama atau berbeda oleh para ahli yaitu kata "sumber" dan kata "alat" untuk memperoleh pengetahuan. Dalam ajaran islam pada umunya dan pendidikan islam pada khususnya, sumber pengetahuan itu adalah Allah SWT dengan ayat kauliyah dan kauniyahNya, sedangkan akal sebenarnya "bukan sumber" tetapi alat yang digunakan untuk menggali pengetahuan  dari sumber tersebut.
           
D. Ciri-Ciri Epistimologi Pendidikan Islam
            Dalam konteks epistimologi, epistimologi islam memiliki cirri-ciri khusus yang membedakannya yang membedakannya dengan epistimologi lainnya, khususnya epistimologi kaum sekuler. Berkaitan dengan epistimologi islam adalah :
1.      Meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah zat Yang Maha 'Alim yaitu Allah SWT yang bersifat  mutlak kebenarannya.
2.      Meyakini bahwa potensi manusia untuk memperoleh pengetahuan baik itu potensial akal, potensi inderawi ataupun potensi hati adalah pemberian dari Yang Maha Pencipta Allah SWT. Di sini kebenaran yang bersumber dari yang maha mutlak sudah dalam wilayah interpretasi manusia sehingga jika melahikan ilmu pengetahuan (kebenaran relatif), jika melahirkan pengalaman spiritual, kebenarannya bersifat esoterik dan personal, jika melahirkan pemikiran filsafat, kebenarannya bersifat spekulatif.
3.      Meyakini bahwa potensi yang dianugrahkan tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk iqra' terhadap Al-Qur'an ataupun fenomena alam.
4.      Pengetahuan yang diperoleh manusia bukanklah sesuatu yang bebas nilai (free of value) tetapi terikat (value bond) oleh nilai-nilai ilahiyah (divine value) yang penggunaannya tidak boleh lepas  dari landasan konsep penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifatulah fil ardi.
E. Implikasi Epistimologi Islam dalam pendidikan Islam
            Epistimologi islam bukan hanya berdasarkan pada akal, indera tetapi juga wahyu. Selanjutnya pengetahuan dalam ajaran islam adalah pengetahuan yang diperoleh dari kajian atau interpretasi manusia terhadap ayat-ayat Tuhan baik kauliyah ataupun kauniyah.
            Bedasarkan ilustrasi sederhana di atas, secara epistimologis pendidikan islam semestinya:
1.      Pendidikan harus terikat oleh nilai-nilai ilahi yang dalam pendidikan melahirkan prinsip tauhid dengan karakteristik rabbaniyyah.
2.      Tidak membeda-bedakan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Karena ilmu berasal dari zat Yang Maha Alim.
3.      Tujuan dunia dan ukhrawi harus dipahami sebagai tujuan yang berkesinambungan, yang sebatas dibedakan  tetapi tidak untuk dipisahkan.
4.      Metode yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan seperti akal, indera dan harus didasarkan pada konsep syukur nikmat, yaitu menggunakan akal dan hati sesuai dengan petunjuk ilahi untuk memperoleh ilmu pengetahuan dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya bukan untuk semakin menjauhkan diri dari Allah.
5.      Pendekatan tekstual tetap penting tetapi dibarengi dengan pendekatan kontekstual melalui penalaran logis serta pendekatan imaniyah atau pendekatan zauqiyah (optimalisasi potensi rasa dalam hati melalui penyucian hati) adalah kombinasi pendekatan yang diharapkan melahirkan generasi yang berilmu, beriman dan beramal shaleh.
F. Persoalan kebenaran (truth) dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam
            Kebenaran adalah sebuah pencarian. Sebagai sebuah pencarian, tingkat kebenaran dari kebenaran yang dicari sangat tergantung pada siapa yang mencari, dengan apa dia mencari, apa tujuan mencari dan kemana dia mencari. Berikut jenis-jenis kebenaran yang merupakan kajian spesifik filsafat ilmu yang beragam tersebut yaitu :
1.      Kebenaran mutlak, kebenaran ini adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu ilahi. Kebenaran wahyu itu diperoleh melalui pendekatan imani, kebenaran ini juga ditopang oleh kinerja akal.
2.      Kebenaran relatif yaitu kebenaran yang diperoleh melalui rasio/akal pikiran manusia. Kebenaran ini diperoleh melalui pemikiran logis, empiric dan disertai dengan pembuktian ilmiah.
3.      Kebenaran spekulatif yaitu kebenaran yang berasal dari pemikiran filsafat. Kebenaran ini diperoleh melalui pemikiran radikal, integral dan universal.
4.      Kebenaran intuitif yaitu kebenaran yang bersifat personal yang dimiliki oleh orang-orang tertentu dengan cara tertentu pula.
           
G. Problematika Epistimologi Pendidikan Islam
            Dari dulu sampai sekarang, persoalan pendidikan pada umumnya tidak lepas dari dua hal yaitu aspek moral di satu sisi serta asapek intelektual di sisi lain. Jika aspek moral adalah bekal potensial dalam berprilaku termasuk sebagai filter terhadap tantangan dunia global, maka aspek intelektual adalah bekal positif dalam rangka hidup di tengah berbagai kompetisi yang menuntut multikompetensi.
            Ada beberapa kritik terhadap pendidikan islam yaitu :
1.      Islam sulit maju karena pendidikan islam mengedepankan aspek ukhrawi, sehingga aspek duniawi diabaikan.
2.      Islam sulit maju karena saat ini tidak sedikit pendidikan islam mulai bergaya liberal bahkan sekuler. Sehingga aspek spritualitas atau nilai transcendental mulai terabaikan.
3.      Pendidikan islam saat ini dalam tataran praktisnya sebenarnya bermasalah pada dua hal di atas, yaitu dari aspek intelektual dan moral-spiritual. Dari aspek intelektual, pendidikan islam  dengan pendidikan lainnya dan dari aspek moral pendidikan islam juga mulai kehilangan sentuhan spiritualnya.
            Bila ditinjau dari segi epistimologisnya, pendidikanb islam bias melepaskan diri dari tiga kritikan di atas. Karena gambaran tentang epistimologi pendidikan islam menunjukkan bahwa betapa idealnya pendidikan islam bila konsep epistimologis tersebut mampu diaplikasikan. Hanya saja, masalah klasik tetap saja membayangi pendidikan islam yaitu kesenjangan antara idealita dengan realita. Aspek epistimologis yang ideal tersebut berlabuh hanya di tataran teoritis  dan mentok dalam tataran praktisnya.
H. Klasifikasi Ilmu dalam Islam (Bukan Dikotomisasi)
            Dalam sejarah pemikiran pendidikan islam klasik, pengetahuan manusia ada yang bersifat perennial knowledge (ilmu ladunny) yaitu ilmu yang dianugrahkan oleh Allah kepada orang-orang    tertentu tanpa             dipelajari dan ada yang bersifat acquired knowledge (ilmu kasby) yaitu ilmu yang diberikan Allah melalui usaha manusia dalam menuntutnya berdasarkan potensi-potensi yang Allah berikan kepada manusia.
            Jadi, epistimologi islam adalah epistimologi yang berpijak pada ayat-ayat Tuhan baik qauliyah dan kauniyah yang diperoleh melalui potensi anugrah dan inspirasi ilahi (indera, akal dan hati) yang digunakan selalu sesuai kehendak pemberinya yaitu Allah SWT.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
            Epistimologi islam adalah epistimologi yang berpijak pada ayat-ayat Tuhan baik kauliyah dan kauniyah yang diperoleh melalui potensi anugrah dan inspirasi ilahi  (indera, akal dan hati) yang digunakan selalu sesuai kehendak pemberinya yaitu Allah      SWT. Dalam aajaran islam disebut syukur nikmat. Syukur termanifestasi dalam pengabdian orang yang berakal, berindera dan berhati untuk dekat dengan Allah dan          sayang dengan sesamanya. Dari tiga potensi itulahselanjutnya bila dikembangkan, akan muncul menjadi beberapa sumber dalam ilmu pengetahuan yaitu pengalaman (indera), nalar, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan.
B. Saran
1.      Mahasiswa sebaiknya dalam menempuh pendidikan berusaha untuk mengembangkan olah pikir dan daya nalar, sehingga dapat bertindak sesuai dengan ilmu yang dimiliki
2.      Para pakar dan para pemegang kendali pendidikan Islam diharapkan selalu untuk memperbaharui metode atau pendekatan dalam membangun pendidikan Islam secara menyeluruh.             
                       
                       

             






DAFTAR PUSTAKA

Iwan  Fitriani, Mohamad.2013. Fisafat Pendidikan Islam Paradigma Filosofis dalam Pendidikan Islam. Labuapi Lombok Barat : Elhikam Press Lombok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar