KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan petunjukNya sehingga
kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam tidak
lupa untuk selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Makalah ini ditulis untuk
menyelesaikan tugas matakuliah “Strategi Pembelajaran”. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada pembaca
yang telah berkenan untuk membaca makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna
sehingga penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat
untuk kita semua.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGATAR................................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................ 3
A.
Latar belakang.......................................................................................... 3
B.
Rumusan
masalah..................................................................................... 3
C.
Tujuan Pembahasan.................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................4
A.
Konsep
Epistimologi...................................................................................... 4
B.
Epistimologi Pendidikan Islam...................................................................... 4
C.
Landasan Epistimologi Pemikiran Pendidikan Islam..................................... 5
D.
Ciri Epistimologi Pendidikan Islam............................................................... 6
E.
Implikasi Epistimologi Islam dalam Pendidikan............................................ 7
F.
Persoalan Kebenaran (Truth) dan Implikasinya
dalam Pendidikan Islam..... 7
G.
Problematika Epistimologi Pendidikan Islam................................................ 8
H.
Klasifikasi Ilmu (Bukan Dikotomisasi) Ilmu dalam
Islam............................. 8
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 9
A.
Kesimpulan..................................................................................................... 9
B.
Saran.............................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 10
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap ilmu pengetahuan seharusnya diinspirasi dari haril kerja
epistemologinya. Pendidikan Islam harus dibangun dan dikembangkan berdasarkan
epistemologi untuk menciptakan pendidikan Islam yang bermutu dan berdaya saing
tinggi untuk bisa bertahan dan memimpin.
Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan pendidikan Islam bisa
efektif dan efisien, bila didasarkan epistemologi pendidikan Islam. Sehingga
pengembangan pendidikan Islam secara konseptual maupun secara aplikatif harus
dibangun dari epistemologi pendidikan Islam secara menyeluruh.
Pertanyaan yang dikemukakan dalam epistimologi adalah menyangkut
apa yang dimaksud pengetahuan yang benar, apa sumber dan dasarnya, bagaimana cara
mengetahui dan sebagainya. Disebabkan kenyataan bahwa studi epistimologis
berkaitan dengan pertanyaan mengenai dasar pencapaian
pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta ketepatan berbagai metode mencapai
kebenaran yang dapat dipercaya, maka epistimologi dan metafisika menduduki
posisi sentral dalam proses pendidikan. Hal ini dikarenakan dunia pendidikan
merupakan wahana berlangsungnya proses pewarisan kebudayaan, utamanya berupa
ilmu pengetahuan. Kedudukan epistimologi menjadi penting artinya mengingat di
dalamnya dikaji hakekat ilmu atau pengetahuan yang menjadi substansi pendidikan
itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dikemukakan bagaimana konsep epistimologi,
pengertian epistemologi pendidikan Islam, landasan epistimologi pemikiran pendidikan
Islam, ciri epistemologi pendidikan Islam, Implikasi epistImologi islam dalam
pendidikan Islam, Persoalan kebenaran dan implikasinya dalam pendidikan Islam, Problematika Epistimologi
pendidikan Islam, dan klasifikasi ilmu (bukan dikotomisasi) ilmu dalam islam. Hal-hal
itulah yang dibahas untuk dijadikan sebagai pertimbangan seberapa jauh
epistimologi pendidikan Islam dapat dinyatakan sebagai kebutuhan yang sangat
penting dan mendesak.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah pengertian epistemologi dan epistimologi pendidikan Islam?
2. Bagaimanakah landasan epistimologi pemikiran pendidikan Islam?
3. Bagaimanakah ciri epistemologi dan implikasinya dalam pendidikan Islam?
4. Bagaimanakah
Persoalan kebenaran dan implikasinya dalam
pendidikan Islam?
5. Bagaimanakah
Problematika Epistimologi pendidikan Islam?
6. Bagaimanakah
klasifikasi ilmu (bukan dikotomisasi) ilmu dalam islam?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian
epistemologi pendidikan Islam
2. Untuk mengetahui landasan
epistimologi pemikiran pendidikan Islam
3. Untuk mengetahui ciri
epistemologi dan implikasinya dalam pendidikan Islam
4. Untuk mengetahui Persoalan
kebenaran dan implikasinya dalam
pendidikan Islam
5. Untuk mengetahui Problematika
Epistimologi pendidikan Islam
6. Untuk mengetahui klasifikasi ilmu
(bukan dikotomisasi) ilmu dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Epistimologi
Secara etimologi, istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani episteme
berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Jadi, epistimologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula ataun sumber
pengetahuan.
Dalam konteks fisafat Barat, ada dua
sumber pengetahuan yang dianggap melahirkan ilmu pengetahuan yakni rasio dan
pengalaman. Yang menjadikan pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan
melahirkan paham empirisme. Sedangkan yang menjadikan rasio sebagai sumber ilmu
pengetahuan melahirkan paham rasionalisme. Kedua paham inilah yang menjadi
cikal bakal ilmu pengetahuan modern yaitu metode sains (scientific methode). Dari
metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge)
Empirisme berasal dari bahasa
yunani yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini, manusia pada awalnya tidak
memiliki pengetahuan (blank), sesuatu yang blank ini selanjutnya diisi oleh pengalaman manusia. Pengalaman
manusia tersebut adalah hasil kerja
indera manusia. Asumsi dasar dari pendapat ini adalah indera menghubungkan
manusia dengan hal-hal kongkrit material. Tokoh aliran ini adalah John Locke
dan David Hume.
Namun, pengalaman yang dihasilkan
indera sangat terbatas, gunung dari jauh kelihatan mulus, padahal penuh dengan
pohon dan tebing yang curam. Begitupun bulan terlihat kecil, padahal bumi ini
bias ambruk jika bulan jatuh. Oleh karena itu, pengetahuan inderawi yang
merupakan cikal bakal empirisme ini menuai kritikan. Lalu muncullah
paham rasionalisme.
Bagi rasionalisme, akalah adalah
gerbang ilmu pengetahuan. Dalam rasionalisme, indera tetap berfungsi dalam
membantu kerja akal menemukan kebenaran dari pengetahuan yang diinginkan. Jadi,
rasionalime adalah aliran yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan
adalah akal. Tokohnya adalah Descartes dan Spinioza. Rasionalisme dan empirisme
selanjutnya melahirkan metode ilmiah
yaitu kebenaranyang diperoleh melalui pembuktian ilmiah (sistematis,
objektif, empirik, dan logis).
Dalam ajaran islam, di samping
indera dan akal, terdapat pula apa yang disebut intuisi dan wahyu. Intuisi ini
disebut bashirah mulhamah, sedang ahli psikologis menyebutnya indera ke
enam. Intuisi merupakan pengetahuan yang
didapatkan tanpa melalui prosea penalaran tertentu. Seseorang yang terpusat pemikirannya pada suatu masalah
tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Pengetahuan yang
diperoleh melalui indera ke enam ini disebut pula dengan hikmah yang
tidak diberikan kepada rangka sembarang orang melainkan kepada orng-orang
tertentu melalui proses penyucian jiwa dalam taqarrub kepada Allah SWT.
B. Epistimologi
Pendidikan Islam
Ketika manusia lahir, keadaannya suci (fitrah) dan tidak mempunyai
pengetahuan sedikitpun. Kemudian Allah memberinya akal, hati dan indera berupa
penglihatan dan pendengaran sebagai alat atau media untuk memperoleh
pengetahuan.
Seperti penjelasan di atas, akal (rasionalisme) mengkritik empirisme,
lalu apakah kritik buat akal?. Ternyata akal juga terbatas (al-aqlu
mahduudun). Akal bias mentok, kementokan akal bermula ketika dikaitkan dengan aspek diluar rasional manusia yaitu
supra-rasional. Lebih-lebih dalam ajaran islam bukan hanya berkaitan dengan
sesuatu yang bersifat rasional empiris, tetapi juga iirasional/supra
rasional . Keyakinan terhadap sesuatu yang supra-rasional di atas memiliki
implikasi pada desain epistimologi pendidikan islam. Misalnya keyakinan
akan adanya Yang Maha Pencipta yaitu Allah SWT memberikan gambaran bahwa sumber
ilmu pengetahuan adalah zat yang Maha Alim.
Dalam ajaran islam terdapat wilayah yang ma'qul dan gairu
ma'qul. Untuk yang ma'qul, akal dan indera manusia biasa berfungsi, tetapi
bagi yang tidak bias dirasionalisasi dan
tidak bias dilihat dengan kasat mata, maka aspek iman mulai berfungsi. Dan iman
itu ada di dalam hati (Qalbun). Oleh karena itu, secara epistimologis,
bias dikatakan bahwa islam menggunakan akal, indera dan hati dalam memperoleh
ilmu pengetahuan.
Lalu, mungkinkah hati itu memperoleh pengetahuan?. Menurut
Ma'anZiyadah, kalbu mampu memperoleh pengetahuan(al-ma'rifah) melalui
daya cita rasa (al-zawqiyyah) Bahkan dalam surat Al-Hajj ayat 46
disebutkan : "Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan hati itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukan mata
itu yang buta, tetapi yang ada adalah hati yang ada di dalam dada. Q.S. Al-Hajj
ayat 46"
C. Landsasan Epistimologi Pemikiran Pendidikan Islam
Setiap manusia dilahirkan
membawa membawa fitrah serta dibekaliberbagai potensi dan kemampuan yang
berbeda dari manusia lainnya.
Fitrah atau potensi tersebut selanjutnya digunakan manusia mulai
dari sebatas inderawi (indera zahir), lalu berpikir dengan akal serta
pada tingkatan tertentu manusia bias dengan potensi indera bathiniahnnya
dan di luar logika.
Ada beberapa hal dalam ajaran islam yang bias dijadikan landasan
dalam menguak konsep epistimologi pendidikan islam. Diantaranya adalah :
1.
Awalnya manusia dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun (Allah
hanya memberikan kemampuan potensial untuk dijadikan aktual). Hal ini
dijelaskan dalam surah An-Nahl yang
berbunyi : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahi sesuatu, dan Dia (Allah) member kamu pendengaran, penglihatan dan
hati agar kamu bersyukur. Q.S An-Nahl ayat 78.
2.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Abu Hurairah disebutkan. Ma min mauluudin illa yuuladu 'alal fitrah
fabawaahu yuhawwidaanihi au yunasshiraanihi au yumajjisaanihi. Menurut
Muhaimin, kata fitrah, disamping berarti "suci", fitrah juga berarti potensi
dan beberapa arti lain yang merujuk pada potensi dasar manusia. Kata
"fitrah" memiliki beragam makna diantaranya : (a) Fitrah berarti
suci, (b) Fitrah berarti islam, (c) Fitrah berarti mengakui
keEsaan Allah, (d) Fitrah berarti murni, (e) Fitrah berari
kopndisi penciptaan manusia yang cenderung menerima kebenaran, (f) Fitrah
berarti potensi dasar manusia, (g) Fitrah berarti ketetapan / kejadian
asal manusia, (h) Fitrah berarti
tabiat alami dan (i) Fitrah berarti ghorizah/insting.
3.
Ayat pertama turun adalah Al-'Alaq yang diawali dengan kata iqra'
yang berarti perintah membaca, menelaah, menyelidiki atau mengeksplorasi.
Menurut Quraisy Syihab, wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus
dibaca, karena Al-qur'qn menghendaki umatnya untuk membaca apa saja selama
bacaan tersebut bismi rabbik, dalam arti bermanfaat bagi kemanusiaan.
4.
Al-Qur'an bukan hanya menjelaskan segala jenis pengetahuan tetapi
juga menjelaskan alat untuk mencapai pengetahuan tersebut seperti akal, indera
serta hati manusia seperti yang termaktub dalam surat An-Nahl (16:78).
5.
Surat Al-Fatihah diawali oleh pujian mutlak (al-istigraqiyyah
dalam al-hamdu) kepada Tuhan sebagai pendidik semesta alam. Tuhan adalah
Maha Pendidik bagi semesta alam. Hal ini menunjukkan bahwa Allah lah sumber
ilmu pengetahuan.
6.
Allah SWT memiliki 99 nama atau yang dikenal dengan asmaul
huisna, salah satunya adalah yaa
'alim (Maha Mengetahui). Ini juga petunjuk bahwa Allah lah Yang Maha Alim
sebagai sumber setiap ilmu yang dimilki manusia.
7.
Potensi inderawi tersebut dibarengi oleh potensi berpikir melalui
akal (al-'aqlu) yang Allah anugrahkan kepada manusia sebagai media
memperoleh pengetahuan.
Untuk menepis kebingungan tentang sumber dan metode/alat untuk
memperoleh pengetahuan terdapat dua kata kunci yang terkadang digunakan secara
bergantian dengan makna yang sama atau berbeda oleh para ahli yaitu kata
"sumber" dan kata "alat" untuk memperoleh pengetahuan.
Dalam ajaran islam pada umunya dan pendidikan islam pada khususnya, sumber
pengetahuan itu adalah Allah SWT dengan ayat kauliyah dan kauniyahNya,
sedangkan akal sebenarnya "bukan sumber" tetapi alat yang digunakan
untuk menggali pengetahuan dari sumber
tersebut.
D. Ciri-Ciri Epistimologi Pendidikan Islam
Dalam konteks
epistimologi, epistimologi islam memiliki cirri-ciri khusus yang membedakannya yang
membedakannya dengan epistimologi lainnya, khususnya epistimologi kaum sekuler.
Berkaitan dengan epistimologi islam adalah :
1.
Meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah zat Yang Maha 'Alim yaitu
Allah SWT yang bersifat mutlak
kebenarannya.
2.
Meyakini bahwa potensi manusia untuk memperoleh pengetahuan baik
itu potensial akal, potensi inderawi ataupun potensi hati adalah pemberian dari
Yang Maha Pencipta Allah SWT. Di sini kebenaran yang bersumber dari yang maha
mutlak sudah dalam wilayah interpretasi manusia sehingga jika melahikan ilmu pengetahuan
(kebenaran relatif), jika melahirkan pengalaman spiritual, kebenarannya bersifat
esoterik dan personal, jika melahirkan pemikiran filsafat, kebenarannya
bersifat spekulatif.
3.
Meyakini bahwa potensi yang dianugrahkan tersebut harus
diaktualisasikan dalam bentuk iqra' terhadap Al-Qur'an ataupun fenomena alam.
4.
Pengetahuan yang diperoleh manusia bukanklah sesuatu yang bebas
nilai (free of value) tetapi terikat (value bond) oleh
nilai-nilai ilahiyah (divine value) yang penggunaannya tidak boleh
lepas dari landasan konsep penciptaan
manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifatulah fil ardi.
E. Implikasi Epistimologi Islam dalam pendidikan Islam
Epistimologi islam bukan hanya berdasarkan pada akal, indera tetapi
juga wahyu. Selanjutnya pengetahuan dalam ajaran islam adalah pengetahuan yang
diperoleh dari kajian atau interpretasi manusia terhadap ayat-ayat Tuhan baik
kauliyah ataupun kauniyah.
Bedasarkan ilustrasi sederhana di atas, secara epistimologis
pendidikan islam semestinya:
1.
Pendidikan harus terikat oleh nilai-nilai ilahi yang dalam
pendidikan melahirkan prinsip tauhid dengan karakteristik rabbaniyyah.
2.
Tidak membeda-bedakan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain.
Karena ilmu berasal dari zat Yang Maha Alim.
3.
Tujuan dunia dan ukhrawi harus dipahami sebagai tujuan yang
berkesinambungan, yang sebatas dibedakan
tetapi tidak untuk dipisahkan.
4.
Metode yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan seperti
akal, indera dan harus didasarkan pada konsep syukur nikmat, yaitu menggunakan
akal dan hati sesuai dengan petunjuk ilahi untuk memperoleh ilmu pengetahuan
dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya bukan untuk semakin menjauhkan diri
dari Allah.
5.
Pendekatan tekstual tetap penting tetapi dibarengi dengan
pendekatan kontekstual melalui penalaran logis serta pendekatan imaniyah atau
pendekatan zauqiyah (optimalisasi potensi rasa dalam hati melalui
penyucian hati) adalah kombinasi pendekatan yang diharapkan melahirkan generasi
yang berilmu, beriman dan beramal shaleh.
F. Persoalan
kebenaran (truth) dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam
Kebenaran adalah sebuah pencarian. Sebagai sebuah pencarian,
tingkat kebenaran dari kebenaran yang dicari sangat tergantung pada siapa
yang mencari, dengan apa dia mencari, apa tujuan mencari dan kemana dia mencari.
Berikut jenis-jenis kebenaran yang merupakan kajian spesifik filsafat ilmu yang
beragam tersebut yaitu :
1.
Kebenaran mutlak, kebenaran ini adalah kebenaran yang bersumber
dari wahyu ilahi. Kebenaran wahyu itu diperoleh melalui pendekatan imani,
kebenaran ini juga ditopang oleh kinerja akal.
2.
Kebenaran relatif yaitu kebenaran yang diperoleh melalui rasio/akal
pikiran manusia. Kebenaran ini diperoleh melalui pemikiran logis, empiric dan
disertai dengan pembuktian ilmiah.
3.
Kebenaran spekulatif yaitu kebenaran yang berasal dari pemikiran
filsafat. Kebenaran ini diperoleh melalui pemikiran radikal, integral dan
universal.
4.
Kebenaran intuitif yaitu kebenaran yang bersifat personal yang
dimiliki oleh orang-orang tertentu dengan cara tertentu pula.
G. Problematika
Epistimologi Pendidikan Islam
Dari dulu sampai sekarang, persoalan pendidikan pada umumnya tidak
lepas dari dua hal yaitu aspek moral di satu sisi serta asapek intelektual
di sisi lain. Jika aspek moral adalah bekal potensial dalam berprilaku
termasuk sebagai filter terhadap tantangan dunia global, maka aspek intelektual
adalah bekal positif dalam rangka hidup di tengah berbagai kompetisi yang
menuntut multikompetensi.
Ada beberapa kritik terhadap
pendidikan islam yaitu :
1.
Islam sulit maju karena pendidikan islam mengedepankan aspek
ukhrawi, sehingga aspek duniawi diabaikan.
2.
Islam sulit maju karena saat ini tidak sedikit pendidikan islam
mulai bergaya liberal bahkan sekuler. Sehingga aspek spritualitas atau nilai
transcendental mulai terabaikan.
3.
Pendidikan islam saat ini dalam tataran praktisnya sebenarnya
bermasalah pada dua hal di atas, yaitu dari aspek intelektual dan
moral-spiritual. Dari aspek intelektual, pendidikan islam dengan pendidikan lainnya dan dari aspek
moral pendidikan islam juga mulai kehilangan sentuhan spiritualnya.
Bila ditinjau dari
segi epistimologisnya, pendidikanb islam bias melepaskan diri dari tiga
kritikan di atas. Karena gambaran tentang epistimologi pendidikan islam
menunjukkan bahwa betapa idealnya pendidikan islam bila konsep epistimologis
tersebut mampu diaplikasikan. Hanya saja, masalah klasik tetap saja membayangi
pendidikan islam yaitu kesenjangan antara idealita dengan realita. Aspek
epistimologis yang ideal tersebut berlabuh hanya di tataran teoritis dan mentok dalam tataran praktisnya.
H. Klasifikasi Ilmu dalam Islam (Bukan Dikotomisasi)
Dalam sejarah pemikiran pendidikan islam klasik, pengetahuan
manusia ada yang bersifat perennial knowledge (ilmu ladunny)
yaitu ilmu yang dianugrahkan oleh Allah kepada orang-orang tertentu tanpa dipelajari dan ada yang bersifat acquired knowledge (ilmu
kasby) yaitu ilmu yang diberikan Allah melalui usaha manusia dalam
menuntutnya berdasarkan potensi-potensi yang Allah berikan kepada manusia.
Jadi, epistimologi islam adalah epistimologi yang berpijak pada
ayat-ayat Tuhan baik qauliyah dan kauniyah yang diperoleh melalui potensi
anugrah dan inspirasi ilahi (indera, akal dan hati) yang digunakan selalu
sesuai kehendak pemberinya yaitu Allah SWT.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistimologi islam adalah epistimologi yang berpijak pada ayat-ayat
Tuhan baik kauliyah dan kauniyah yang diperoleh melalui potensi anugrah dan
inspirasi ilahi (indera, akal dan hati)
yang digunakan selalu sesuai kehendak pemberinya yaitu Allah SWT. Dalam aajaran islam disebut
syukur nikmat. Syukur termanifestasi dalam pengabdian orang yang berakal,
berindera dan berhati untuk dekat dengan Allah dan sayang dengan sesamanya. Dari tiga potensi itulahselanjutnya
bila dikembangkan, akan muncul menjadi beberapa sumber dalam ilmu pengetahuan
yaitu pengalaman (indera), nalar, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan.
B. Saran
1.
Mahasiswa sebaiknya dalam menempuh pendidikan berusaha untuk
mengembangkan olah pikir dan daya nalar, sehingga dapat bertindak sesuai dengan
ilmu yang dimiliki
2.
Para pakar dan para pemegang kendali pendidikan Islam diharapkan
selalu untuk memperbaharui metode atau pendekatan dalam membangun pendidikan
Islam secara menyeluruh.
DAFTAR
PUSTAKA
Iwan Fitriani, Mohamad.2013.
Fisafat Pendidikan Islam Paradigma Filosofis dalam Pendidikan Islam. Labuapi
Lombok Barat : Elhikam Press Lombok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar