SEJARAH ISLAM DI LOMBOK
1. MASUKNYA ISLAM KE LOMBOK
..
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang
mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme
kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa
yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit.
Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan
kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan
terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para
penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah
penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam
bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi
dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk
melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Kerajaan Lombok, ketika Kerajaan ini
dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang
mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini
merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang
memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke
berbagai wilayah di Nusantara. Proses pengislaman oleh Sunan Prapen menuai
hasil yang menggembirkan, hingga beberapa tahun kemudia seluruh pulau Lombok memeluk
agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih memepertahankan adat istiadat
lama.
Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah
kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan memindahkan pusat kerajaan ke
Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini
dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah
diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.
Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari,
Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang.
Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan
manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari
ini. Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda L. C. Van den
Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi
terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam
rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan
bahwa para intelektual masyarakat .
Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat
(2002) mencatat setidak-tidaknya tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan
Selaparang.
Pertama,
disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan
proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa
Lae' yang diperkirakan berkedudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur
sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerajaan ini berpindah dan membangun
sebuah kerjaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga
berada di Desa Sembalun sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk
kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra
kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di
sebelah utara Perigi sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut
terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.
Kedua,
disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok
dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam
hutan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru
bernama Batu Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.
Ketiga,
disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat
satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh
sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak
waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan
Majapahit mengirimkan ekspedisinyo ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang
diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu
Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.
Agak sulit membuat kompromi penafsiran
untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi di atas. Minimnya sumber-sumber
sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan. Menurut Lalu Djelenga (2004),
catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari
masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai
pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kemudian diteruskan dengan
inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.
Selaparang dan Pejanggik sangat
mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak
yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara
Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah,
mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.
Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji,
Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan
mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang
berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat
Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir
Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.
Desa Bayan, Lombok Utara, 80 kilometer
arah utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, dan keseharian masyarakatnya
selama bulan suci Ramadhan tidaklah berbeda dengan banyak wilayah pedesaan di
Indonesia. Dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok, keberadaan bangunan yang telah
menjadi situs purbakala yang dilindungi tersebut tak mencolok, seperti juga
rumah-rumah di desa itu. Dari tepi jalan hanya tampak pagar tembok dengan dua
rumah kecil di kedua sisi gerbang, kantor tempat pendaftaran pengunjung, dan
rumah penjaga situs.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di
Gunung Pujut, di Desa Rembitan dan Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk
dalam kawasan Desa Sekarbela. Meski punya ciri yang sama, situs dan budaya di
tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam masuk Lombok di
beberapa tempat sekaligus. Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa, dan Bima.
Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa.
Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk
dalam kawasan Desa Sekarbela ini telah mengalami renovasi beberapa kali.
Renovasi yang pertama dilakukan setelah Masjid terbakar akibat peperangan
antara masyarakat Sekarbela yang menuntut kematian Tuan Guru Padang Reak dengan
penguasa saat itu. Saat itu, bentuk masjid Sekarbela berbentuk empat persegi
dengan dinding bedek, atap rumbia, lantai tanah dan yang menjadi ciri khas
adalah empat soko guru.
Setelah kebakaran, Masjid dibangun
kembali oleh TGH Mustafa dan TGH Moh. Toha. Bentuk Masjid masih sederhana
dengan empat soko guru. Dari peninggalan yang ada yakni sebuah kaligrafi
tertulis angka 1350 H. Saat itu bangunan Masjid sudah lebih baik dari
sebelumnya namun masih sederhana. Kemudian pada tahun 1890 M, atas prakarsa TGH
M Rais, masjid direnovasi dengan memanfaatkan atap dari genteng. Jamaah yang
semakin banyak menginspirasikan penerus selanjutnya, yakni TGH Muktamat Rais
anak dari TGH Muhamaad Rais, untuk membangun kembali Masjid pada tahun 1974
dengan kontruksi beton. Namun dikarenakan jamaah yang semakin banyak dan kompleknya
kegiatan, pada tahun 2001 Masjid direnovasi kembali dengan desain Timur Tengah
dan berlantai tiga.
2. MASUKNYA ISLAM KE BIMA
Mbojo (Bima) terletak di pulau Sumbawa
bagian ujung timur , Indonesia. Daerah Bima sekarang terdiri dari Kota Bima dan
Kab.Bima setelah terjadi pemekaran wilayah, kedua wilayah ini memiliki
peninggalan budaya Mbojo, rumah adat (Arsitektur lokal) berupa UMA LEME atau
biasa disebut UMA LENGGE oleh masyrakat setempat yang terletak didesa Padende-
Donggo – kabupaten Bima, sedangkan pada kota Bima terdapat Istana Kesultanan
Bima (ASI MBOJO) sebagai pusat pemerintahan kerajaan bima dulunya dan sekarang
menjadi museum.
Islam masuk ke Bima pada hari Kamis
tanggal 5 Juli 1640 M, atau bertepatan dengan tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H.
Islam pertama kali dibawa ke Bima oleh dua orang datuk keturunan bangsawan
Melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Tanjung
Emas Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. Dua datuk yang juga berprofesi
sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro. Sebagian
literatur menyebut keduanya dengan nama Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro.
Namun sejak tahun 1950-an saat peralihan
pemerintahan dari Kesultanan menjadi Pemerintahan Swapraja, kegiatan ini
terhenti dan tidak mampu sepenuhnya dihidupkan kembali. Tapi melihat kemauan
dan masih tersisanya keluarga kerjaan di bima maka proses adat ini masih bisa
terlaksana dari tahun 1980-an, 1990-an sampai saat ini masih ada kayaknya
(soalnya saya ikut hanya 2003 lalu). Acara Ua Pua ini sendiri selain untuk
memperingati hari kelahiran nabi muhammad saw, juga masih merupakan bentuk
penghormatan Sultan Abdul Kahir Ma Ntau Bata Wadu (sultan Kerajaan Bima
pertama) menganugerahkan sebidang tanah yang cukup luas kepada keduanya
(Sebagai penghormatan atas jasa Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro dalam pengusiran
). Kelak, tanah pemberian Sultan Bima ini dijadikan sebagai tempat tinggal
kerabat dan keluarga mereka. Seiring dengan perkembangan masyarakat, penghuni
kampung tersebut kian bertambah ramai. Dan, akhirnya perkampungan tersebut
diberi nama Kampung Melayu yang hingga saat ini masih ada di bima dan sekarang
masuk kota bima (kalau kampung ini dekat dengan kampung sarae.
Bima merupakan salah satu Kerajaan islam
tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus
swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan
peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan
rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah
budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan
makna. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa
kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer
sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan
dengan 5 Juli 1640.
Masuknya rimpu ke Bima amat kental
dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang
Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi
wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.
Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini
masih bediri di Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota, Kota Bima. Hanya saja,
kondisi cagar budaya itu tak terurus dan hanya berfungsi sebagai Tempat
Pendidikan Qur’an (TPQ) oleh warga setempat. Bahkan sejumlah benda bernilai
sejarah tinggi raib. Pantauan Suara NTB, mesjid yang seluruh bangunannya
terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih berdiri kokoh diantara rumah
penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan Sultan Goa Sulawesi Selatan
untuk mensyi’arkan Agama Islam di Bima.
Ua Pua sebuah tradisi Islam yang
menggugah, penuh makna, menggagukan nilai-nilai islam. “Islam sebagai agama
Rahmatan lilalami”, demikian dikatakan Hj. Siti Mariyam saat menyampaikan
sambutan sebagai Ketua majelis Adat Sara Dana Mbojo, di Asi Mbojo (27/02).
“Perayaan Hanta U’a Pua tidak hanya sekedar prosesi biasa, tetapii Hanta U’a
Pua mengandung sebuah janji yang disimbolisasikan dengan siri puan yang
dihantarkan oleh Penghulu melayu kepada Sultan Bima kala itu. “ bahwa setiap
pembesar Dana Mbojo dari Sultan, Turelli, Jeneli dan Gelarang harus berpegang
teguh ajaran Islam dengan benar dan sungguh-sungguh”. Itulah perkataan yang
tertulis dalam naskah-naskah lama.
P E N U T U P
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang
mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme
kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa
yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit.
Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta
menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan
lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat
setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat
untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu
ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu
Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang
diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai
saja.
Desa Bayan, Lombok Utara, 80 kilometer
arah utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, dan keseharian masyarakatnya
selama bulan suci Ramadhan tidaklah berbeda dengan banyak wilayah pedesaan di
Indonesia. Dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok, keberadaan bangunan yang telah
menjadi situs purbakala yang dilindungi tersebut tak mencolok, seperti juga
rumah-rumah di desa itu. Dari tepi jalan hanya tampak pagar tembok dengan dua
rumah kecil di kedua sisi gerbang, kantor tempat pendaftaran pengunjung, dan
rumah penjaga situs.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di
Gunung Pujut, di Desa Rembitan dan Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk
dalam kawasan Desa Sekarbela. Meski punya ciri yang sama, situs dan budaya di
tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam masuk Lombok di
beberapa tempat sekaligus. Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa, dan Bima.
Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa.
Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk
dalam kawasan Desa Sekarbela ini telah mengalami renovasi beberapa kali.
Renovasi yang pertama dilakukan setelah Masjid terbakar akibat peperangan
antara masyarakat Sekarbela yang menuntut kematian Tuan Guru Padang Reak dengan
penguasa saat itu. Saat itu, bentuk masjid Sekarbela berbentuk empat persegi
dengan dinding bedek, atap rumbia, lantai tanah dan yang menjadi ciri khas
adalah empat soko guru.
Islam masuk ke Bima pada hari Kamis
tanggal 5 Juli 1640 M, atau bertepatan dengan tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H.
Islam pertama kali dibawa ke Bima oleh dua orang datuk keturunan bangsawan
Melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Tanjung
Emas Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. Dua datuk yang juga berprofesi
sebagai saudagar tersebut bernama Datuk
Bima merupakan salah satu Kerajaan islam
tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus
swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan
peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan
rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah
budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan
makna. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa
kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer
sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan
dengan 5 Juli 1640.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mansur Suryanegara. Juli 2009. Api
Sejarah. Salamadani. Cetakan: I, Tebal : xxii + 584 hlm.
Ari Sapto, M.Hum. 2006. Dinamika Sosial
dan Politik Kesultanan Bima Abad ke-17 – 18 M. paramadina pers.jakarta.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4
Musrifah Sunanto. 2006. Sejarah
Peradapan Islam di Indonesia. Rajawali Pers Rajagrafindo Persada. Jakarta.
M. Syatibi, Ah. 2003. Artikel
.Menelusuri Al-Qur’an Tulis Tangan di Lombok
Sejarah Perkembangan Islam di Nusa Tenggara Barat
Kali ini kita akan melihat sejarah awal
mula masuknya islam di Nusa Tenggara, khususnya pada bagian barat. Nusa
Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia.
Provinsi NTB biasa juga disebut sebagai daerah kepulauan. Dua pulau terbesar di
provinsi ini adalah Lombok yang terletak di barat
dan Sumbawa yang terletak di timur. Ibu kota provinsi ini adalah Kota
Mataram yang berada di Pulau Lombok.Sebagian besar dari
penduduk Lombok berasal dari suku Sasak, sementara suku
Bima dan Sumbawa merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau
Sumbawa. Mayoritas penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam (96%).
Masyarakat
yang mendiami pulau Lombok awalnya menganut kepercayaan animisme, dinamisme
kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad
XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Para wali tersebut tidak serta merta
menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan
lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat
setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat
untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu
ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut
Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan
untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Kerajaan Selaparang menjadi
sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeluruh agaknya memerlukan
pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan
sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang,
seperti Babad dan lain-lain memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria
yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan
sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat
perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dimuat sebagai gambaran yang
masih harus ditelusuri sebagai bahan pengkajian lebih lanjut.
Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat
(2002) mencatat tiga pendapat tentang asal mula sejarah kerajaan Selaparang.
Pendapat Pertama
Kerajaan Selaparang merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae' yang diperkirakan berkedudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerajaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.
Pendapat Kedua
Setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.
Pendapat Ketiga
Pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi) dan Dompu.
Kerajaan Selaparang merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae' yang diperkirakan berkedudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerajaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.
Pendapat Kedua
Setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.
Pendapat Ketiga
Pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi) dan Dompu.
Dari ketiga pendapat diatas agak sulit
untuk membuat penafsiran mengenai sejarah kerajaan Selaparang. Minimnya
sumber-sumber sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan.
Zaman Majapahit
Menurut
Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih
berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui ekspedisi di bawah Mpu Nala
pada tahun 1343 sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah
Mada yang kemudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada
tahun 1352.
Ekspedisi ini, lanjut Djelenga,
meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok dalam
perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama saling
bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di Timur,
Kerajaan Langko di tengah dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat
kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong
serta beberapa desa kecil,
seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu
Dendeng, Kuripan dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini
selanjutnya menjadi wilayah yang merdeka setelah kerajaan Majapahit runtuh.
Di antara kerajaan dan desa itu yang
paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat
di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang
sangat indah dan mempunyai sumber air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya
banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang
dari Palembang, Banten, Gresik dan Sulawesi.
Masuknya Islam
Ketika
Kerajaan Lombok dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan
Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan,
pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu
Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa
Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah
di Nusantara. Proses pengislaman oleh Sunan Prapen berjalan dengan lancar,
sehingga beberapa tahun kemudian seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam,
kecuali beberapa tempat yang masih mempertahankan adat istiadat lama.
Sunan Ratu Giri memerintahkan keyakinan
baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala
tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan
Galeier dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa.
Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia
memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen
berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan
tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan.
Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan
dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah
baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke
gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian
lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut
untuk memelihara agama Islam dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana
ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Bali
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Bali
Menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita
akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa
sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang
sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama 6 lembar menggariskan sifat dan sikap
seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma dan Warsa.
Danta artinya gading gajah, apabila
dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi.
Danti artinya ludah, apabila sudah
dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi.
Kusuma artinya kembang, tidak mungkin
kembang itu mekar dua kali.
Warsa artinya hujan, apabila telah jatuh
ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan.
Itulah sebabnya seorang raja atau
pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.
Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada
diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna
telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut
(menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit
(tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia) atau terpi
(teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak
(terampil) atau genem (rajin).
Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat
kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang
merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang
pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan.
Mengambil pelajaran dari serangan yang
gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan
infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di
bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh
strategi baru dengan mengirim Dangkiang Nirartha untuk memasukkan faham baru
berupa singkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok, tetapi
ajaran-ajarannya telah dapat memengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang
belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan
Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga
mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini.
Penyebaran Islam di Lombok (abad ke-16)
Ada beberapa versi yang menyebutkan
bermulanya penyebaran Islam di Lombok, salah satunya adalah melalui Bayan,
sebelah utara pulau ini. Selain di Bayan, penyebaran agama Islam juga diyakini
berawal dari Pujut dan Rembitan di Lombok Tengah. Masjid kuno yang terdapat di
tempat-tempat tersebut menjadi salah satu bukti tentang penyebaran Islam dari
wilayah itu.
Desa Bayan, Lombok Utara, 80 kilometer
arah utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, dan keseharian masyarakatnya
selama bulan suci Ramadhan tidaklah berbeda dengan banyak wilayah pedesaan di
Indonesia. Dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok, keberadaan bangunan yang telah
menjadi situs purbakala yang dilindungi tersebut tak mencolok, seperti juga
rumah-rumah di desa itu.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di
Gunung Pujut, di Desa Rembitan dan Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk
dalam kawasan Desa Sekarbela. Meski punya ciri yang sama, situs dan budaya di
tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam masuk Lombok di
beberapa tempat sekaligus. Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa, dan Bima. Mengenai
Bayan, masuknya dari Jawa.
Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela ini telah mengalami renovasi beberapa kali. Renovasi yang pertama dilakukan setelah Masjid terbakar akibat peperangan antara masyarakat Sekarbela yang menuntut kematian Tuan Guru Padang Reak dengan penguasa saat itu. Saat itu, bentuk masjid Sekarbela berbentuk empat persegi dengan dinding bedek, atap rumbia, lantai tanah dan yang menjadi ciri khas adalah empat soko guru.
Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela ini telah mengalami renovasi beberapa kali. Renovasi yang pertama dilakukan setelah Masjid terbakar akibat peperangan antara masyarakat Sekarbela yang menuntut kematian Tuan Guru Padang Reak dengan penguasa saat itu. Saat itu, bentuk masjid Sekarbela berbentuk empat persegi dengan dinding bedek, atap rumbia, lantai tanah dan yang menjadi ciri khas adalah empat soko guru.
Setelah kebakaran, Masjid dibangun
kembali oleh TGH Mustafa dan TGH Moh. Toha. Bentuk Masjid masih sederhana
dengan empat soko guru. Dari peninggalan yang ada yakni sebuah kaligrafi
tertulis angka 1350 H. Saat itu bangunan Masjid sudah lebih baik dari sebelumnya
namun masih sederhana. Kemudian pada tahun 1890 M, atas prakarsa TGH M Rais,
masjid direnovasi dengan memanfaatkan atap dari genteng. Jamaah yang semakin
banyak menginspirasikan penerus selanjutnya, yakni TGH Muktamat Rais anak dari
TGH Muhamaad Rais, untuk membangun kembali Masjid pada tahun 1974 dengan
kontruksi beton. Namun dikarenakan jamaah yang semakin banyak dan kompleknya
kegiatan, pada tahun 2001 Masjid direnovasi kembali dengan desain Timur Tengah
dan berlantai tiga.
Menurut beberapa catatan, penyebaran
agama Islam melalui Bayan dilakukan oleh Sunan Prapen, keturunan dari salah
seorang Wali Songo— penyebar agama Islam di Ja wa—yakni Sunan Giri. Namun, tak
diketahui persis mengapa Bayan menjadi tujuan pertama Sunan Prapen.
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Konawe Kendari Sulawesi Tenggara
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Konawe Kendari Sulawesi Tenggara
Penyebaran Melalui Dakwah
Sampailah
kemudian Sunan Prapen di Lombok dalam misi penyebaran agama Islam. Ia dibantu
oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut. Dengan kekuatan senjata disebutkan, Sunan
Prapen mampu menaklukkan beberapa kerajaan yang merupakan warisan Majapahit,
lalu mengislamkan masyarakatnya.
Satu yang mungkin bisa direka-reka yakni
Sunan Prapen melakukan pelayaran dalam upaya penyebaran Islam ke wilayah timur
nusantara dari Gresik lewat pantai utara Jawa. Dia tidak berlabuh ke Pulau Bali, tapi langsung ke
Bayan. Dari letak geografisnya, Bayan berada di tepi pantai utara Lombok
sehingga sangat mungkin Sunan Prapen melempar sauh di sini. Belakangan, Sunan
Prapen diperkirakan barulah ke Pulau Bali (meski misinya gagal) setelah dari
Sumbawa dan Bima.
“Di setiap pantai, penyebaran itu memang
ada. Penyebaran dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Arab dan Jawa. Kebanyakan
datangnya dari Jawa,” kata budayawan setempat, Ahmad JD, kepada Republika,
tentang asal muasal penyebaran Islam di Lombok melalui pantai utara. “Yang
monumental adalah peninggalan kebudayaan tulis dari Jawa. Ini menunjukkan
adanya jejak wali dariJawa, yakni Sunan Prapen,”
lanjutnya.
Anggun Zamzani (2009) dalam
penelitiannya mengenai “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Abad
XVI-XVIII” menemukan bahwa agama Islam masuk ke Pulau Lombok pada abad XVI
melalui misi yang dipimpin oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri. Mengenai
bukti-bukti berkembangnya Islam di Lombok dapat dilihat dari adanya peninggalan
masjid kuno yang ada di Bayan, Lombok Utara, yang disebut dengan Masjid Bayan
Beleq dan masjid kuno yang ada di Pujut dan Rembitan Lombok Tengah. Selain itu,
juga terdapat makam raja-raja Selaparang yang ada di Lombok Timur.
Selain bukti arkeologi, Anggun juga
menemukan bukti lain, yakni dalam bidang seni sastra, baik itu seni tabuh, seni
suara, maupun seni tulisan. Dalam penelitian ini juga me nun jukkan bahwa agama
Islam da pat ber kembang di Lombok, selain karena peranan para penyebar agama
Islam seperti Sunan Prapen, juga adanya peranan dari rajaraja yang ada di Lom
bok sendiri. Pada perkembang an selanjutnya, agama Islam berkembang di Lombok
lebih diprakarsai oleh adanya Tuan Guru.
Penyebaran agama Islam di Lombok
disebutkan juga datang dari Gowa (Sulawesi Selatan) dan Bima. “Memang
ada dua versi mengenai masuknya penyebaran agama Islam di Pulau Lombok. Versi
pertama mengatakan datang dari Jawa, sementara versi satunya lagi yakni dari
Sulawesi atau Makassar,” kata Dr Akhyar Fadli, dosen dan peneliti sejarah Islam
di Lombok dari Institut Agama Islam Qomarul Huda, Praya, Lombok Tengah. “Juga
banyak versi tentang masuknya abad ke berapa,” tambahnya.
Menurut Akhyar, penyebaran yang datang
dari Jawa dibawa oleh Sunan Pengging (nama lain Sunan Prapen) sekitar abad
ke-14. Pada saat itu, Sunan Prapen bersama para pengikutnya berlabuh di Labuhan
Carik, dekat Bayan, Lombok Utara. “Menurut sejarah yang saya temukan, Sunan
Pengging memang pertama kali menginjakkan kakinya di Bayan untuk
menyebarluaskan ajaran Islam,” jelasnya.
Jejak yang seakan membenarkan mula
penyebaran Islam di Lombok melalui Bayan adalah terbentuknya
komunitas/masyarakat adat Islam wetu telu di sana. Ini adalah komunitas Islam
tua yang sampai sekarang masih ada di Lombok dengan pusatnya di Bayan. Mereka
menjalani ajaran Islam dengan tidak meninggalkan ritual adat leluhurnya.
Selain terbentuknya komunitas wetu telu,
menurut Akhyar, masjid kuno yang sampai sekarang masih berdiri di Bayan adalah
bukti lain mengenai penyebaran Islam oleh Sunan Prapen melalui Bayan. Setelah
menemukan lokasi yang tepat, Sunan Prapen mendirikan masjid di sana sebagai
pusat syiarnya dalam mengislamkan penduduk setempat sebelum menyebar ke seluruh
Lombok.
Dari Bayanlah kemudian penyebaran itu
menuju ke sebelah barat, tengah, serta timur. Jejaknya adalah terdapatnya
komunitas wetu telu di wilayah-wilayah tersebut. Di Lombok Barat, mereka ada di
Narmada dan Sekotong. Di Lombok Tengah, komunitas ini ada di Pegadang, Pujut,
dan Rambitan. Sedangkan, di Lombok Timur tidak begitu banyak.
Tidak banyaknya komunitas wetu telu di
Lombok Timur terjawab dengan versi penyebaran Islam melalui Sulawesi.
Penyebaran ini dibawa oleh para pedagang dan nelayan Sulawesi Selatan melalui
Labuhan Kayangan, Lombok Timur pada abad ke-14. Jejaknya adalah banyaknya
komunitas nenek moyangnya berasal dari Makassar di sepanjang pantai di Lombok
Timur. “Mereka lebih dikenal dengan sebutan Islam Suni. Ada juga yang
menyebutnya wetu lima,” kata Akhyar, yang menulis buku Islam Lokal: Akulturasi
Islam di Bumi Sasak pada 2008.
Diperkirakan pengaruh Sunan Prapen di
Lombok Timur tidak besar karena sudah ada penyebar agama Islam dari para
pedagang dan nelayan Makassar tersebut. Diduga, Sunan Pra penatau pengikutnya
meninggal kan la dang dakwah yang sudah dimasuki oleh para pedagang dan nelayan
itu. Dalam sejumlah catatan, Sunan Pra penmemang disebutkan tidak begitu lama
menetap di Lombok, dia kemudian menyerahkan tugas penyebar an Islam di pulau
ini kepada dua orang kepercayaannya, Raden Sumu liya dan Raden Salut. Setelah
itu, Sunan Pra pen menuju Pulau Sum bawa dan Bima.
Namun, Akhyar punya analisis tersendiri.
Ada yang bilang dia ke Sumbawa, ada juga yang bilang dia kembali ke Jawa.
Setelah saya lacak yang di Pulau Sumbawa ini banyak jejak kerajaan dari
Makassar. Menurut saya, Sunan Prapen langsung kembali ke Jawa, tidak berlayar ke
Sumbawa, ujarnya.
Setelah lima abad, Lombok dan Sum bawa
yang kemudian menjadi Nusa Tenggara Barat mayoritas pendu duk nya adalah Islam.
Dari sekitar 4,4 juta jiwa penduduknya, sekarang ini 80 persen adalah pemeluk
Islam. Sisanya adalah Hindu, Budha, dan Kristen. Tentu saja Sunan Prapen, para
muridnya, serta para pedagang Arab dan Makassar perannya dalam penyebaran Islam
di kedua pulau ini tak bisa diabaikan.
Sebelum Islam masuk ke Lombok (juga
Sumbawa), masyarakatnya adalah penganut kepercayaan pada animisme, dinamisme,
dan Hindu. Masuknya agama Hindu di Lombok diyakini merupakan jejak dari
kehadiran imperium Majapahit di pulau ini pada pertengahan abad ke-14.
Mengenai masuknya Islam di Lombok,
beberapa catatan yang mengutip Babad Lombok menyebutkan, proses penyebaran
agama Islam ini adalah usaha keras dari Raden Paku atau Sunan Giri dari Gresik
yang memerintahkan raja-raja di Jawa Timur untuk menyebarkan Islam ke seluruh
nusantara.
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Kepulauan Bangka Belitung
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Kepulauan Bangka Belitung
MASUKNYA ISLAM KE BIMA
Mbojo (Bima) terletak di pulau Sumbawa bagian ujung timur , Indonesia. Daerah Bima sekarang terdiri dari Kota Bima dan Kab.Bima setelah terjadi pemekaran wilayah, kedua wilayah ini memiliki peninggalan budaya Mbojo, rumah adat (Arsitektur lokal) berupa UMA LEME atau biasa disebut UMA LENGGE oleh masyrakat setempat yang terletak didesa Padende- Donggo – kabupaten Bima, sedangkan pada kota Bima terdapat Istana Kesultanan Bima (ASI MBOJO) sebagai pusat pemerintahan kerajaan bima dulunya dan sekarang menjadi museum.
Mbojo (Bima) terletak di pulau Sumbawa bagian ujung timur , Indonesia. Daerah Bima sekarang terdiri dari Kota Bima dan Kab.Bima setelah terjadi pemekaran wilayah, kedua wilayah ini memiliki peninggalan budaya Mbojo, rumah adat (Arsitektur lokal) berupa UMA LEME atau biasa disebut UMA LENGGE oleh masyrakat setempat yang terletak didesa Padende- Donggo – kabupaten Bima, sedangkan pada kota Bima terdapat Istana Kesultanan Bima (ASI MBOJO) sebagai pusat pemerintahan kerajaan bima dulunya dan sekarang menjadi museum.
Islam masuk ke Bima pada hari Kamis
tanggal 5 Juli 1640 M, atau bertepatan dengan tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H.
Islam pertama kali dibawa ke Bima oleh dua orang datuk keturunan bangsawan
Melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Tanjung
Emas Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. Dua datuk yang juga berprofesi
sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro. Sebagian
literatur menyebut keduanya dengan nama Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro.
Namun sejak tahun 1950-an saat peralihan pemerintahan dari Kesultanan menjadi Pemerintahan Swapraja, kegiatan ini terhenti dan tidak mampu sepenuhnya dihidupkan kembali. Tapi melihat kemauan dan masih tersisanya keluarga kerjaan di bima maka proses adat ini masih bisa terlaksana dari tahun 1980-an, 1990-an sampai saat ini masih ada kayaknya (soalnya saya ikut hanya 2003 lalu). Acara Ua Pua ini sendiri selain untuk memperingati hari kelahiran nabi muhammad saw, juga masih merupakan bentuk penghormatan Sultan Abdul Kahir Ma Ntau Bata Wadu (sultan Kerajaan Bima pertama) menganugerahkan sebidang tanah yang cukup luas kepada keduanya (Sebagai penghormatan atas jasa Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro dalam pengusiran ). Kelak, tanah pemberian Sultan Bima ini dijadikan sebagai tempat tinggal kerabat dan keluarga mereka. Seiring dengan perkembangan masyarakat, penghuni kampung tersebut kian bertambah ramai. Dan, akhirnya perkampungan tersebut diberi nama Kampung Melayu yang hingga saat ini masih ada di bima dan sekarang masuk kota bima (kalau kampung ini dekat dengan kampung sarae.
Bima merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.
Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.
Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini
masih bediri di Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota, Kota Bima. Hanya saja,
kondisi cagar budaya itu tak terurus dan hanya berfungsi sebagai Tempat
Pendidikan Qur’an (TPQ) oleh warga setempat. Bahkan sejumlah benda bernilai
sejarah tinggi raib. Pantauan Suara NTB, mesjid yang seluruh bangunannya
terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih berdiri kokoh diantara rumah
penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan Sultan Goa Sulawesi Selatan
untuk mensyi’arkan Agama Islam di Bima.
Ua Pua sebuah tradisi Islam yang
menggugah, penuh makna, menggagukan nilai-nilai islam. “Islam sebagai agama
Rahmatan lilalami”, demikian dikatakan Hj. Siti Mariyam saat menyampaikan
sambutan sebagai Ketua majelis Adat Sara Dana Mbojo, di Asi Mbojo (27/02).
“Perayaan Hanta U’a Pua tidak hanya sekedar prosesi biasa, tetapii Hanta U’a
Pua mengandung sebuah janji yang disimbolisasikan dengan siri puan yang
dihantarkan oleh Penghulu melayu kepada Sultan Bima kala itu. “ bahwa setiap
pembesar Dana Mbojo dari Sultan, Turelli, Jeneli dan Gelarang harus berpegang
teguh ajaran Islam dengan benar dan sungguh-sungguh”. Itulah perkataan yang
tertulis dalam naskah-naskah lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar